Belum genap setahun UU BHP dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Konstitusi. Kini, muncul tampilan baru BHP dengan sedikit modifikasi.
Masih segar di ingatan kita, perjuangan sejumlah kelompok mahasiswa menolak Undang-Undang (UU) tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada 31 Maret 2010 silam akhirnya berbuah manis. Mahkamah konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU BHP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, ini tak berlangsung lama. Pemerintah pun tak kehabisan akal. BHP, dalam jangka waktu yang relatif singkat disulap menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2010 dan diperbaharui melalui PP No 66 tahun 2010.
Mengapa PP No 66 ini patut menjadi perhatian sivitas akademika? Lahirnya PP No 66 Tahun 2010 ini sebagai perubahan atas PP No 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Jika dibandingkan dengan UU BHP, hanya terdapat sedikit perubahan dalam PP ini, yakni pada sistem tata kelola keuangan. Hal inilah yang mulai dikaji oleh sejumlah aktivis mahasiswa.
Terdapat sejumlah kejanggalan yang ditemukan dengan hadirnya PP No 66 ini. Aturan baru ini pun dianggap tak memiliki landasan hukum yang jelas. Secara hukum, Saifuddin Al Mughny SSos SH MHum, Pembantu Rektor III Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) mengungkapkan, PP merupakan aturan teknis dari sebuah UU. “Jika payung hukum dari PP ini (BHP, red) telah ditolak, maka aturan teknis yang ada di bawahnya secara otomatis juga cacat hukum,” ungkapnya, Rabu (2/2). PP ini, tambahnya, hanya mengaburkan keputusan tentang BHP. Pertanyaan yang muncul selanjutnya, apakah BHP benar-benar telah dibatalkan, ataukah hanya sekadar formalitas belaka?
Mengenai alasan penolakan terhadap BHP, Kurniawan Sabar, mahasiswa Pascasarjana Unhas Jurusan Komunikasi Pendidikan menambahkan, “Salah satu alasan BHP ditolak karena merupakan aturan khusus yang bertentangan dengan aturan umum yaitu UU Dasar (UUD) 1945.”
Dalam UUD 1945 tercantum “turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kemudian, di batang tubuhnya terdapat pasal yang menyebutkan “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak”. BHP dianggap mengancam akses masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini karena tata kelola keuangan yang mirip dengan sistem perusahaan, di mana akan ada investor yang menanamkan sahamnya. Untuk mengembalikan modal saham itu, akhirnya mahasiswa pun dibebankan biaya pendidikan yang semakin mahal, tegas Kurniawan saat ditemui di Gedung Pascasarjana Unhas, Selasa (1/2).
Secara khusus, Kurniawan menambahkan, BHP dan ‘anak-anaknya’ termasuk PP No 66 ini akan mengancam keragaman pendidikan yang ada di Indonesia. Semua bentuk pendidikan, baik formal maupun informal yang dibentuk pemerintah ataupun swasta harus dalam bentuk BHP. Artinya, menyerahkan semua ‘warna’ pendidikan yang ada di Indonesia pada mekanisme pasar yang kuat. Mekanisme lain seperti kurikulum, keuangan dan yang lainnya pun diseragamkan.
Memang terjadi perubahan dalam pengelolaan satuan pendidikan Pada pasal 49 ayat 2 PP No 66 tahun 2010, yakni berdasarkan prinsip nirlaba. Berarti, tujuan utamanya tidak mencari keuntungan. Namun, di pasal lain, yakni pasal 220B, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tercantum dalam Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dalam pengelolaan keuangannya harus tunduk pada UU Keuangan melalui Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PKBLU) atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ditambah lagi dengan pasal 58F ayat 3, dinyatakan adanya tarif pada setiap layanan pendidikan. Hal ini berarti, menyamakan PTN dengan badan usaha yang bisa mencari laba. Dari sini, ditemukan hal yang bersifat kontradiktif dalam pasal yang ada pada PP No 66 ini.
Tak hanya itu, bentuk ‘meliberalkan pendidikan’ pun ditemukan dalam PP ini. Menurut Saifuddin, PP No 66 ini hanyalah ‘anak kandung’ dari UU BHP yang bersifat neoliberalis. Saifuddin beranggapan, PP ini sebagai liberalisasi sektor pendidikan, dapat memarginalkan masyarakat kecil yang memiliki potensi untuk lanjut sekolah maupun kuliah. Jika PP ini diterapkan, biaya pendidikan akan mahal dan subsidi pemerintah untuk sektor pendidikan berkurang.
Dalam PP baru ini, juga disebutkan kewajiban PTN untuk menerima minimal 20 persen mahasiswa baru (maba) yang berkebatasan ekonomi, namun memiliki otak cemerlang. Menanggapi hal ini, Saifuddin mengaku pesimis. Menurutnya, hal ini tidak akan ditemukan pada persoalan regulasi. UU telah menetapkan, sepertiga dari biaya pendidikan ditanggung orang tua mahasiswa. Sementara, jika tak ada lagi subsidi dari pemerintah, peningkatan biaya pendidikan jadi jalan alternatif. Imbasnya, kelompok borjuasi mungkin dapat bertahan. Namun, bagi mahasiswa yang kurang mampu secara tidak langsung akan tereliminasi dari kehidupan kampus.
Hal lain yang juga digadang dalam PP ini adalah keharusan PTN untuk menerima 60 persen mahasiswa dari seleksi nasional (SNMPTN). 20 persen dari masyarakat kurang mampu sudah termasuk di dalamnya. Namun, adanya ketidakjelasan regulasi bagi 40 persen maba yang diterima di luar SNMPTN, menjadi pertanyaan yang muncul setelahnya.
Lahirnya PP No 66 Tahun 2010 yang tak lain perpanjangan dari BHP, harusnya cukup mampu mengetuk ‘pintu kamar’ lembaga mahasiswa yang kini ‘tertidur lelap’. Jika dulu, lembaga kian gencarnya menunjukkan ‘gigi taring’ penolakan BHP, lalu apa bedanya dengan PP ini?
Ironisnya, saat ditanya mengenai PP ini, hampir sebagian besar pengurus lembaga mahasiswa (lema) mengaku tak paham, bahkan tak tahu. Sibuk mengurusi masalah internal lembaga pun menjadi alasan pamungkas. “Pergerakan di Unhas memang terlihat agak vakum,” tutur Zulkifli, Sekretaris Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya.
Belum terbentuknya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat universitas di Unhas, juga menjadi kendala yang dialami lema Universitas Negeri Makassar (UNM) untuk melakukan konsolidasi terkait masalah ini. Pertengahan Januari lalu, sejumlah aktivis mahasiswa UNM berkunjung ke Unhas untuk mengkaji PP ini. Namun, karena tak ada lembaga yang menaungi semua lema fakultas di Unhas, pertemuan itu tak membuahkan hasil.
Kini, tinggal menunggu sikap dari kalangan yang peduli terhadap nasib pendidikan bangsa ini. Jangan sampai, mereka yang dulunya berada di barisan terdepan menolak BHP, hanyut pada euforia kebanggaan akan batalnya BHP. Di akhir wawancara, Saifuddin menegaskan, “yang kita butuhkan adalah revolusi pendidikan, bukan revolusi UU.” (Sym/Tra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar