Rabu, 16 Februari 2011

Bidadari Itu Adalah Kakakku (2)

Bidadari…
Hemm, apa yang kawan pikirkan saat mendengar kata ini?
Wanita, cantik, kulit putih, rambut dan mata indah, hidung mancung, tubuh proporsional, dan hal-hal mempesona lainnya?
Tepat sekali!

Selama ini, pikiran kita memang dipenuhi gambaran-gambaran itu kala mendengar atau membaca satu kata ini, Bidadari!

Masih ingat dengan Kak Laisa? Sebuah nama yang dulu kuprediksikan sebagai sosok bidadari surga yang terpampang pada bagian sampul novel ini?

Dugaanku benar. Dialah salah seorang bidadari itu.
Namun… padanya, sama sekali tidak tersemat gambaran perawakan fisik layaknya bidadari yang kita ketahui.

Untuk memulainya, aku ingin meminjam kata-kata Jamil Zirlyfera, Pemimpin Redaksi UMMI. “Laisa bukan gambaran wanita “ideal” di layar kaca, yang ‘bening, licin, dan wangi’. Namun, padanya setiap perempuan bisa berkaca soal keteguhan hati, kemandirian, cinta, dan keikhlasan.”

Ya… Laisa bukanlah wanita yang cantik, berkulit putih, rambut dan mata indah, tubuh proporsional, atau hal mempesona lainnya. Ia tidak memiliki satu pun sifat fisik itu. Bahkan sebaliknya. Tubuhnya gemuk, gempal, hitam, pendek, berambut gimbal, hidung pesek, dan segala keterbatasan fisik lainnya. Namun, jika saja Kawan membaca novel ini langsung, tentu akan tahu, betapa ia memiliki ‘sesuatu’ berharga lain. Melebihi jangkauan indera, yang kadang bersifat munafik!

Laisa, si sulung dari kelima anak Mamak Lainuri. Kakak dari adik-adik yang berhasil, membanggakan tidak hanya keluarga, tapi juga kampung, kota, negara, dan dunia. Yang rela berhenti di kelas empat sekolah dasarnya, demi melihat adik-adiknya sekolah (Seperti yang kukatakan sebelumnya, keluarga mereka yang termiskin di Lembah Lahambay).

Laisa, sosok wanita kuat, yang rela kulitnya terpanggang matahari setiap hari demi menyekolahkan adik-adiknya. Membantu Mamak bekerja di ladang hingga ashar tiba, memasak gula aren di dinginnya subhu, menyadap damar di hutan, serta mencari dan menganyam rotan. Semuanya, hanya untuk adik-adiknya!

Lembut? Laisa juga tak memiliki sifat yang satu ini. Ia sangat tegas. Tak segan memarahi adiknya yang bolos sekolah, bahkan memukulinya dengan rotan. Namun, sekali lagi, itu ia lakukan demi kebaikan adik-adiknya.

Laisa…. Ah, tidak bosan aku menyebut namanya. Semoga kawan juga tak bosan membacanya… ^_^

KERJA KERAS!!! Itulah yang sering ia teriakkan pada adik-adiknya. “Bekerja keraslah! Kelak, kalian akan menemui kehidupan yang jauh lebih baik di luar lembah ini.” Jika ia kembali mendapati adik-adiknya--terutama Ikanuri dan Wibisana yang sangat bandel--bolos sekolah, ia akan berteriak sambil menunjuk-nunjuk dada adiknya dengan rotan, “Mau jadi apa kalian jika tidak sekolah? Kalian punya janji kehidupan yang lebih baik di luar lembah ini!”

Moment yang paling mengharukan dari serpihan kisah ini, ketika Laisa berusaha menyelamatkan dua adiknya, Ikanuri dan Wibisana, dari terkaman tiga ekor harimau di hutan seberang kampung mereka. Meski dengan kaki yang gemetaran karena takut, matanya tetap melotot pada tiga harimau itu. Demi adiknya, ia rela mengorbankan dirinya. Namun, entah karena apa, harimau kelaparan itu urung menerkam tubuh Laisa. Barulah ketika duduk di bangku SMP (kalau tidak salah), Dalimunte, adik Laisa yang kini seorang professor bidang fisika mengetahui jika binatang pun memiliki insting. Seperti halnya manusia, harimau itu tahu, Kak Laisa nekat melawan mereka demi melindungi adik-adiknya. Subhanallah!!

Satu dari beberapa hal yang kupelajari dari sosok Laisa adalah sifat pemaafnya. Harus teman-teman tahu, kejadian menyelamatkan adik dari terkaman harimau itu, dilakukan Laisa justru setelah hatinya tercabik-cabik karena perkataan dan sikap tidak patuh kedua adiknya.

“Kau bukan kakak kami! Tubuhmu pendek, hitam, jelek. Sama sekali tidak sama dengan kami! Jadi buat apa kami menuruti kata-katamu?”

Siapa yang tidak merasa sakit hati dengan perkataan itu?! Dikatakan oleh adik pula! Namun, begitulah… ‘Bidadari surga’ ini sama sekali tak menyimpan dendam pada adiknya. Dan ia, tak pernah datang terlambat untuk menyelamatkan adik-adiknya.

KAK LAISA, TAK PERNAH TERLAMBAT UNTUK ADIKNYA…

***

Satu moment lagi, yang membuat semangatku turut membuncah. Moment setelah Kak Laisa berhasil menyelamatkan dua sigung nakal (Ikanuri dan Wibisana). Di saat mereka (Kak Laisa, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana) berjalan pulang dari hutan. Waktu itu dini hari. Kak Laisa berseru sambil menunjuk gerombolan kunang-kunang yang melintas. “Lihatlah! Kunang-kunang yang indah. Suatu hari nanti, sungguh kalian akan melihat berjuta kerlip cahaya lampu yang jauh lebih indah di luar sana, di luar lembah kita…”

“Suatu saat nanti, kalian akan melihat betapa hebatnya kehidupan ini… Betapa indahnya kehidupan di luar sana. Kalian akan memiliki kesempatan itu, yakinlah… kakak berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua itu terwujud…”

“Tapi, sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan kakak. Kalian harus rajin sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras!”

Sengaja aku kutip petikan itu secara utuh. Aku benar-benar terkesan dengan kalimat itu…

Aku jadi teringat dengan orang tuaku. Aku memang tak memiliki kakak seperti Kak Laisa. Juga tak bisa jadi kakak sepertinya (karena tak memiliki adik!). Tapi, cukuplah aku analogikan dengan orang tuaku. Ah, entah karena apa, aku sering malu mengungkapkan cintaku pada mereka. Mungkin karena aku belum berbuat sesuatu yang bisa membuktikannya. Bukankah cinta itu perlu bukti? Tak sekadar ungkapan, yang suatu saat dapat dengan mudah dilupakan!

***

Kawan… sungguh, hanya orang bebal yang tak menitikkan air mata, saat membaca kisah yang akan kuceritakan berikutnya. Kisah, saat tubuh kecil Yashinta terbaring lemah karena sakit. Waktu itu tengah malam, saat tubuh pucatnya mendadak kejang, matanya berubah jadi putih dan melotot. Saat itulah… Saat Mamak Lainuri, Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana hanya bisa menelan ludah, panik, dan tak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba Kak Laisa berlari keluar rumah, menuruni anak tangga dan menembus derasnya butiran hujan. Tak peduli sudah berpuluh kilometer ia berlari. Tak peduli dinginnya malam di awal musim penghujan daerah lembah. Tak peduli, kini tubuhnya basah kuyup, terhantam butiran air bak kerikil kecil yang dilemparkan dari langit. Dan… Tak peduli… tak peduli sakit yang ia rasakan pada mata kakinya.

Kembali Kak Laisa menepati janjinya, tak akan pernah terlambat untuk adik-adiknya….

Kak Laisa, hanya bisa menggigit bibir dan memaksa kakinya mengalah oleh semangatnya. Saat itu, tulang mata kakinya bergeser karena menabrak batang pohon di tengah gelapnya jalan. Lebam! Tak peduli dan tak pernah peduli, ia terus berlari menuju tempat mahasiswa kedokteran yang sedang KKN di kecamatan atas. Berharap mereka dapat membantu menyembuhkan adik bungsunya, Yashinta.

Tak ada yang pernah tahu betapa hebatnya rasa sakit yang dirasakan Kak Laisa saat itu. Hanya Dalimunte, yang sempat memperhatikan kakaknya bersimpuh di depan pintu dapur. Tubuhnya dipenuhi butiran air, gemetar, sambil memegangi kakinya. Kak Laisa baru merasakan sakit yang luar biasa itu, setelah berhasil mendatangkan mahasiswa kedokteran itu. Berhasil menyelamatkan adiknya untuk yang kesekian kali. Kembali menepati janjinya…

Jika saja tak disamarkan butiran air, mungkin Dali akan dapat melihat bening air yang keluar dari sudut mata kakaknya…
Jika saja tak disamarkan tubuh yang gemetar karena kedinginan, tentu Dali akan melihat, tubuh kakaknya gemetar karena menahan sakit di kakinya… Kak Laisa, tak pernah ingin terlihat menangis di depan adik-adiknya. Karena, jika itu terjadi, siapa lagi yang bisa jadi panutan mereka…

Dan, jika saja Kawan benar-benar membacanya langsung. Dapat kupastikan, Kawan pun akan seperti aku. Yang meski tak terasa dan berusaha menyembunyikan rasa haru, tetap saja air mata itu tak dapat berbohong…

(To be continued…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar