Jari mungilnya membentuk huruf “O”. Menggenggam erat tangan orang di sampingnya. Lebih kuat. Semakin kuat. Seolah ia takut, tangan itu lepas. Lalu berjalan. Berlari menjauhi dirinya. Atau jika tidak, ia takut tersandung. Lalu terjatuh. Ia menakuti banyak kemungkinan, jika tangan itu tak lagi digenggamnya.
Kaki mereka, kakak beradik itu, berjalan beriringan. Melalui jalan setapak bebatuan. Sudah sejam mereka berjalan, namun tak kunjung sampai. Tujuan mereka adalah ujung jalan itu.
45 menit berlalu…
Di tengah perjalanan melelahkan itu, mereka menemukan jalan setapak dengan arah yang berbeda. Jalan yang satu ini terlihat lebih rata. Tak ada bebatuan yang sewaktu-waktu bisa mambuat kaki terkilir. Tiba-tiba saja, sang kakak berubah pikiran. Mungkin karena terlalu lelah, atau karena melihat tujuan mereka masih terlalu jauh. Ia memutuskan mengubah haluan, mengikuti jalan yang satunya.
Sang adik, yang masih terngiang akan keindahan pemandangan alam di ujung jalan sana, tak mau terima. Digenggamnya tangan itu lebih erat. Sedikit menggoyangkannya, sambil merengek manja. “Kak, kenapa memilih jalan itu?” tanyanya dengan bola mata membulat. “Bukankah kakak sudah janji, mengajakku ke suatu tempat yang indah di ujung jalan ini? Kakak masih ingat kan?” tambahnya setengah berteriak.
Kakak itu menggeleng. “Tidak. Jalan ini masih terlalu jauh. Aku takut adik lelah,” ucap kakak seadanya.
“Tidak mau!!!” Teriak sang adik.
Keduanya bersikeras memilih jalan masing-masing. Perlahan, ia melepaskan tangan kakaknya. Rasanya beraaaat sekali! Karena keinginannya yang sangat besar, Ia melanjutkan perjalanannya. Sendirian!
Cairan bening seketika melewati pipi merah muda-nya. Kini, ia berjalan sendirian. Tanpa kakak yang melindungi, menyayangi, dan mendekapnya lembut saat ia ketakutan. Kini, ia benar-benar sendiri!
***
Tring…Tring…
Nada pesan handphone itu membuyarkan konsentrasi Chaca. “Ah, tulisanku baru setengah halaman,” gumamnya sedikit kesal. Chaca, gadis berumur 20 tahun itu beranjak dari kasurnya. Meraih sebuah handphone berwarna biru dengan kombinasi hitam pada tutsnya.
1 Massage Received
Kakak
Ia mengernyitkan keningnya. Namun, tak lama, senyumnya mengembang. Kakak? Ekspresinya masih tak percaya. Cukup lama ia menatap layar hp-nya itu.
“Ah, sudah lama aku tak menerima pesan dari kakakku. Ada apa ya? Tanyanya pada diri sendiri. Tak ingin berlama-lama penasaran, ia memencet tombol open.
“Aku minta maaf, lahir dan batin.”
Pesan itu betul-betul singkat!
Digenggamnya benda itu erat-erat. Seerat genggamanan adik pada tangan kakaknya dalam cerita yang baru saja ia tulis. Pesan singkat itu, mampu meluruhkan egonya. Seketika, ia merasakan setetes embun menetes di hatinya yang mulai kering.
Ia menjawab pesan itu. Tapi, kali ini ia tak mau meminta bantuan jaringan komunikasi. Cukup dalam hati. Ya, dalam hati. Sangaaaat dalam, hingga meninggalkan bekas.
“Kakak tak perlu minta maaf. Bukan kakak yang salah. Mungkin hanya sebuah kesalahpahaman. Aku pikir, tak ada masalah dengan semuanya. Justru aku bersyukur, karena dari sini, kita diajar untuk lebih bersikap dewasa….”
*Catatan kecil untuk seorang kakak, teman, sekaligus sahabatku.
“Tak ada yang salah, dan tak ada yang perlu meminta maaf dan dimaafkan. Belajar! Kita hanya butuh belajar. Belajar mengerti, belajar memahami, dan menyikapi sesuatu dengan lebih bijak dan sabar….”
Tampilkan postingan dengan label Pribadi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pribadi. Tampilkan semua postingan
Jumat, 11 Februari 2011
“Kak, Kenapa Memilih Jalan Itu?”
Kamis, 10 Februari 2011
Elektron Kulit Terluar Dari Sebuah Unsur
Ada sebuah unsur kimia, sebut saja unsur X. Sebagaimana unsur yang lainnya, X terdiri dari inti dan kulit yang mengelilinginya. Di inti terdapat neuron dan proton, sedang di tiap kulitnya terdapat electron dengan tingkatan energy yang berbeda-beda.
Unsur ini hanya memiliki empat kulit dan di setiap kulit itu terdapat sejumlah electron. Di kulit pertama yang paling dekat dengan inti terdapat enam electron, kulit kedua juga enam, dan kulit ketiga ada delapan electron. Karena unsur ini bukan termasuk gas mulia (golongan VIII A), maka ia selalu melepas ataupun menerima electron di kulit terluarnya agar konfigurasinya bisa stabil seperti yang dimiliki oleh si gas mulia itu (memiliki 2 atau 8 elektron di kulit terluarnya).
Dalam kimia unsur, ada dua kaidah yang salah satunya harus dipenuhi oleh sebuah unsur agar stabil. Kaidah itu bernama duplet dan oktet. Melihat situasi dan kondisi dari unsur X ini, maka kaidah yang paling mungkin dipenuhinya adalah kaidah oktet (memiliki 8 elektron di kulit terluarnya).
Aku sendiri adalah sebuah elektron yang terdapat di kulit terluar dari unsur X ini. Nah, sebagaimana yang kita ketahui pada sifat unsur, semakin jauh jarak electron dari inti, maka semakin sedikit energy yang diperolehnya dan semakin lemah tarikan inti terhadapnya. Sehingga kemungkinan elektron ini untuk lepas sangat besar.
Lepasnya electron ini mungkin saja disebabkan karena adanya ikatan yang lebih kuat dari unsur lain yang juga berusaha untuk mencapai keadaan stabil. Atau mungkin disebabkan oleh kemungkinan-kemungkinan lain yang hingga saat ini tak juga kumengerti.
Di kulit terluar yang sedang kutempati ini, terdapat orbital-orbital atau bahasa gampangnya ruangan-ruangan di mana tiap orbitalnya ditempati oleh maksimal dua electron, begitu pula di kulit-kulit yang lainnya. Dulu, tepatnya tanggal 8 Mei 2010, di kulit terluar ini terdapat 15 orbital (sangat tidak masuk akal bagi sebuah unsur, tapi biarlah, karena ini hanya sebuah analogi). Itu artinya, terdapat 30 elektron. Saat ini, 15 Agustus 2010, sekitar empat bulan setelah pertemuan electron-elektron itu, hanya tersisa sekitar 11 elektron. Ke mana perginya electron yang lain???
Seperti yang kukatakan sebelumnya, banyak hal yang membuat electron-elektron itu terlepas satu demi satu. Tarikan yang lemah dari inti karena jarak atau jari-jari yang terlalu besar, energy yang diperoleh sangat sedikit, atau adanya tarikan yang lebih kuat dari unsur lainnya adalah kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
11 elektron yang masih kekeh berada di kulit terluar itu bisa saja mereduksi. Bisa saja, mereka juga mengalami apa yang telah dialami oleh elektron lainnya yang kini telah tereksitasi keluar dari unsur X ini. Tidak terkecuali aku. Meskipun aku yakin kemungkinan mereduksi itu pasti akan terjadi agar unsur ini tetap berada dalam keadaan stabil, hanya memiliki 8 elektron di kulit terluarnya.
Namun, untuk rekan-rekan electron kulit terluar lainnya, satu hal yang masih bisa menjadi spirit adalah harga yang terlalu murah dari sebuah kata ‘mundur’, ‘berhenti’, ‘menyerah’, atau apapun redaksi katanya. Sekali lagi, harga yang terlampau murah untuk membayar waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan hal lainnya yang selama ini telah rela kalian sisihkan demi mendapat sedikit energy dari inti unsur X ini. Kalaupun ada unsur lain yang menawarkan energy yang lebih besar dari unsur yang kini kita tempati, ingatlah elektron-elektron lain yang selama ini bersama-sama denganmu berputar mengelilingi inti….
[Catatan hati dari sebuah electron kulit terluar]
Unsur ini hanya memiliki empat kulit dan di setiap kulit itu terdapat sejumlah electron. Di kulit pertama yang paling dekat dengan inti terdapat enam electron, kulit kedua juga enam, dan kulit ketiga ada delapan electron. Karena unsur ini bukan termasuk gas mulia (golongan VIII A), maka ia selalu melepas ataupun menerima electron di kulit terluarnya agar konfigurasinya bisa stabil seperti yang dimiliki oleh si gas mulia itu (memiliki 2 atau 8 elektron di kulit terluarnya).
Dalam kimia unsur, ada dua kaidah yang salah satunya harus dipenuhi oleh sebuah unsur agar stabil. Kaidah itu bernama duplet dan oktet. Melihat situasi dan kondisi dari unsur X ini, maka kaidah yang paling mungkin dipenuhinya adalah kaidah oktet (memiliki 8 elektron di kulit terluarnya).
Aku sendiri adalah sebuah elektron yang terdapat di kulit terluar dari unsur X ini. Nah, sebagaimana yang kita ketahui pada sifat unsur, semakin jauh jarak electron dari inti, maka semakin sedikit energy yang diperolehnya dan semakin lemah tarikan inti terhadapnya. Sehingga kemungkinan elektron ini untuk lepas sangat besar.
Lepasnya electron ini mungkin saja disebabkan karena adanya ikatan yang lebih kuat dari unsur lain yang juga berusaha untuk mencapai keadaan stabil. Atau mungkin disebabkan oleh kemungkinan-kemungkinan lain yang hingga saat ini tak juga kumengerti.
Di kulit terluar yang sedang kutempati ini, terdapat orbital-orbital atau bahasa gampangnya ruangan-ruangan di mana tiap orbitalnya ditempati oleh maksimal dua electron, begitu pula di kulit-kulit yang lainnya. Dulu, tepatnya tanggal 8 Mei 2010, di kulit terluar ini terdapat 15 orbital (sangat tidak masuk akal bagi sebuah unsur, tapi biarlah, karena ini hanya sebuah analogi). Itu artinya, terdapat 30 elektron. Saat ini, 15 Agustus 2010, sekitar empat bulan setelah pertemuan electron-elektron itu, hanya tersisa sekitar 11 elektron. Ke mana perginya electron yang lain???
Seperti yang kukatakan sebelumnya, banyak hal yang membuat electron-elektron itu terlepas satu demi satu. Tarikan yang lemah dari inti karena jarak atau jari-jari yang terlalu besar, energy yang diperoleh sangat sedikit, atau adanya tarikan yang lebih kuat dari unsur lainnya adalah kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
11 elektron yang masih kekeh berada di kulit terluar itu bisa saja mereduksi. Bisa saja, mereka juga mengalami apa yang telah dialami oleh elektron lainnya yang kini telah tereksitasi keluar dari unsur X ini. Tidak terkecuali aku. Meskipun aku yakin kemungkinan mereduksi itu pasti akan terjadi agar unsur ini tetap berada dalam keadaan stabil, hanya memiliki 8 elektron di kulit terluarnya.
Namun, untuk rekan-rekan electron kulit terluar lainnya, satu hal yang masih bisa menjadi spirit adalah harga yang terlalu murah dari sebuah kata ‘mundur’, ‘berhenti’, ‘menyerah’, atau apapun redaksi katanya. Sekali lagi, harga yang terlampau murah untuk membayar waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan hal lainnya yang selama ini telah rela kalian sisihkan demi mendapat sedikit energy dari inti unsur X ini. Kalaupun ada unsur lain yang menawarkan energy yang lebih besar dari unsur yang kini kita tempati, ingatlah elektron-elektron lain yang selama ini bersama-sama denganmu berputar mengelilingi inti….
[Catatan hati dari sebuah electron kulit terluar]
Unusual Feeling
Kamis, 10 Februari 2011, 18.05 waktu identitas
Dingin! Kakiku rasanya dingin! Padahal, di luar tak ada rintik hujan. Tak pula angin yang membawa hawa dingin. Entahlah, kenapa kakiku jadi dingin. Saat ini, aku berada di sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Coklat mendominasi interiornya. Peta dunia dan Sulawesi Selatan menghiasi dindingnya.
Tepat di samping kananku, whiteboard terpampang kaku. Hanya ada dua kata di sana, satunya angka dan yang lainnya berupa jalinan huruf. Sebuah kombinasi yang lengkap. “5 Teng”, begitu aku membacanya. Tak ada yang special dari tulisan itu. Hanya sebuah kesepakatan pertemuan kemarin. Tapi, sekali lagi, tak ada yang tak bermakna. Entah sadar atau tidak, tulisan itu kembali mencerminkan, betapa warga negara tercinta-termasuk aku- ini belum mampu menghargai waktu!
Entah kenapa lagi, terasa ada yang berdebar di dada sebelah kiriku. Mungkin itu detakan jantung. Ah, kenapa pula organ yang satu ini bekerja lebih cepat? Tak ingin kalah, tanganku juga menimbulkan reaksi berbeda. Gemetar dan berair. Ada apa ini? Sepertinya adrenalinku diproduksi lebih banyak dari biasanya. Tapi kenapa?
Aku mencoba mencari penyebabnya. Tak kutemukan! Ada apa ini? Tak biasanya aku seperti ini.
Padahal, seharusnya hatiku berbunga-bunga. Baru saja, aku dan sahabatku, Nita, menghabiskan waktu bersama di sebuah toko buku. Hampir dua jam aku di sana. Mencari, mengamati, dan sesekali meraih dan membaca sampul belakang. Tentunya, aku lebih lama di rak yang pada bagian atasnya terpampang tulisan “Best Seller” atau “Novel”.
Akhir-akhir ini aku memang terhipnotis untuk selalu mengikuti alur cerita novel. Menikmati setiap deskripsinya. Rasanya senang sekali saat aku diajak penulisnya menapaki jalan-jalan atau mengunjungi kota yang mungkin takkan pernah kukunjungi di dunia nyata ini.
Cukup lama aku berdiri di samping ratusan buku yang tertata rapih itu. Di sampingku, Nita juga tampak serius membolak-balik buku yang masih terbungkus plastik bening. Kami saling merekomendasikan buku yang mungkin akan merogoh kocek lagi. Tak apalah. Daripada habis di kantin.
Sebuah buku-tepatnya novel-bersampul orange menarik perhatian kami. Tanganku tak sabar meraihnya. “9 Matahari” karya Adenita, itu yang kubaca pada bagian sampul. Seperti biasa, aku membolak benda tak memiliki ruang itu. Di sana, kutemui kata yang menarik. “Buku ini harus dibaca oleh para pemuda, khususnya mahasiswa”. Oh ya, ada lagi. “Buku ini menggambarkan bagaimana seorang mahasiswa berdarah-darah untuk mempertahankan kuliahnya”. Ya, seingatku kurang lebih seperti itu.
Nita menghampiriku dengan sebuah buku tebal nan lebar di tangannya. “Muhammad: Pemuda Penggenggam Hujan”, begitu judulnya. “Ini bagus, menggambarkan profil Muhammad,” seru sahabatku ini. Aku merebut dari tangannya. Seperti sebelumnya, aku pun membolak buku yang satu ini. “Sepertinya bagus,” ucapku menimpali. Tapi, perhatianku sepenuhnya lebih tercurah pada buku yang tadi.
Kakiku masih terasa dingin. Kali ini lebih lembab…
***
Berita mengejutkan tiba-tiba dilontarkan seorang senior. “Ada janin ditemukan di FKM,” serunya berteriak, membuat gendang telinga seisi rumah kecil bergetar. Pesan itu dengan cepat menjalar ke akson, sampai ke dendrit, melalui celah sinaps, berpindah ke neuron berikutnya. Waktu menunjukkan pukul 18.30. Sudah maghrib. Sementara rekanku yang lain berlari menuju tempat yang dimaksud, aku mengurungkan niat untuk pergi bersama mereka. Pikirku, lebih baik menunaikan sholat dulu, biar gak nambah lagi dosa-dosaku yang mungkin sudah melebihi luas dan dalamnya samudera terluas dan terdalam sekalipun.
Setelah sholat, aku, seorang rekan dan senior bergegas menuju tempat itu. Memang benar, terletak sebuah kantong plastic hitam yang entah berisi apa, di sebuah lubang yang nampaknya sengaja digali. Di sampingnya, tiga lembar sarung berlumuran darah. Namun, bukan di tempat itu. Tepatnya di Desa Kera-Kera. Entahlah, aku merasa malas berpanjang lebar dengan apa yang kulihat. Memang dunia ini makin aneh saja! Atau mungkin ini memang skenario Tuhan. Yang kutahu, saat ini aku juga punya masalah dengan diriku sendiri. Masalah, atau apapun namanya. Aku lelah…
Dingin! Kakiku rasanya dingin! Padahal, di luar tak ada rintik hujan. Tak pula angin yang membawa hawa dingin. Entahlah, kenapa kakiku jadi dingin. Saat ini, aku berada di sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Coklat mendominasi interiornya. Peta dunia dan Sulawesi Selatan menghiasi dindingnya.
Tepat di samping kananku, whiteboard terpampang kaku. Hanya ada dua kata di sana, satunya angka dan yang lainnya berupa jalinan huruf. Sebuah kombinasi yang lengkap. “5 Teng”, begitu aku membacanya. Tak ada yang special dari tulisan itu. Hanya sebuah kesepakatan pertemuan kemarin. Tapi, sekali lagi, tak ada yang tak bermakna. Entah sadar atau tidak, tulisan itu kembali mencerminkan, betapa warga negara tercinta-termasuk aku- ini belum mampu menghargai waktu!
Entah kenapa lagi, terasa ada yang berdebar di dada sebelah kiriku. Mungkin itu detakan jantung. Ah, kenapa pula organ yang satu ini bekerja lebih cepat? Tak ingin kalah, tanganku juga menimbulkan reaksi berbeda. Gemetar dan berair. Ada apa ini? Sepertinya adrenalinku diproduksi lebih banyak dari biasanya. Tapi kenapa?
Aku mencoba mencari penyebabnya. Tak kutemukan! Ada apa ini? Tak biasanya aku seperti ini.
Padahal, seharusnya hatiku berbunga-bunga. Baru saja, aku dan sahabatku, Nita, menghabiskan waktu bersama di sebuah toko buku. Hampir dua jam aku di sana. Mencari, mengamati, dan sesekali meraih dan membaca sampul belakang. Tentunya, aku lebih lama di rak yang pada bagian atasnya terpampang tulisan “Best Seller” atau “Novel”.
Akhir-akhir ini aku memang terhipnotis untuk selalu mengikuti alur cerita novel. Menikmati setiap deskripsinya. Rasanya senang sekali saat aku diajak penulisnya menapaki jalan-jalan atau mengunjungi kota yang mungkin takkan pernah kukunjungi di dunia nyata ini.
Cukup lama aku berdiri di samping ratusan buku yang tertata rapih itu. Di sampingku, Nita juga tampak serius membolak-balik buku yang masih terbungkus plastik bening. Kami saling merekomendasikan buku yang mungkin akan merogoh kocek lagi. Tak apalah. Daripada habis di kantin.
Sebuah buku-tepatnya novel-bersampul orange menarik perhatian kami. Tanganku tak sabar meraihnya. “9 Matahari” karya Adenita, itu yang kubaca pada bagian sampul. Seperti biasa, aku membolak benda tak memiliki ruang itu. Di sana, kutemui kata yang menarik. “Buku ini harus dibaca oleh para pemuda, khususnya mahasiswa”. Oh ya, ada lagi. “Buku ini menggambarkan bagaimana seorang mahasiswa berdarah-darah untuk mempertahankan kuliahnya”. Ya, seingatku kurang lebih seperti itu.
Nita menghampiriku dengan sebuah buku tebal nan lebar di tangannya. “Muhammad: Pemuda Penggenggam Hujan”, begitu judulnya. “Ini bagus, menggambarkan profil Muhammad,” seru sahabatku ini. Aku merebut dari tangannya. Seperti sebelumnya, aku pun membolak buku yang satu ini. “Sepertinya bagus,” ucapku menimpali. Tapi, perhatianku sepenuhnya lebih tercurah pada buku yang tadi.
Kakiku masih terasa dingin. Kali ini lebih lembab…
***
Berita mengejutkan tiba-tiba dilontarkan seorang senior. “Ada janin ditemukan di FKM,” serunya berteriak, membuat gendang telinga seisi rumah kecil bergetar. Pesan itu dengan cepat menjalar ke akson, sampai ke dendrit, melalui celah sinaps, berpindah ke neuron berikutnya. Waktu menunjukkan pukul 18.30. Sudah maghrib. Sementara rekanku yang lain berlari menuju tempat yang dimaksud, aku mengurungkan niat untuk pergi bersama mereka. Pikirku, lebih baik menunaikan sholat dulu, biar gak nambah lagi dosa-dosaku yang mungkin sudah melebihi luas dan dalamnya samudera terluas dan terdalam sekalipun.
Setelah sholat, aku, seorang rekan dan senior bergegas menuju tempat itu. Memang benar, terletak sebuah kantong plastic hitam yang entah berisi apa, di sebuah lubang yang nampaknya sengaja digali. Di sampingnya, tiga lembar sarung berlumuran darah. Namun, bukan di tempat itu. Tepatnya di Desa Kera-Kera. Entahlah, aku merasa malas berpanjang lebar dengan apa yang kulihat. Memang dunia ini makin aneh saja! Atau mungkin ini memang skenario Tuhan. Yang kutahu, saat ini aku juga punya masalah dengan diriku sendiri. Masalah, atau apapun namanya. Aku lelah…
Langganan:
Postingan (Atom)