Jumat, 11 Februari 2011

“Kak, Kenapa Memilih Jalan Itu?”

Jari mungilnya membentuk huruf “O”. Menggenggam erat tangan orang di sampingnya. Lebih kuat. Semakin kuat. Seolah ia takut, tangan itu lepas. Lalu berjalan. Berlari menjauhi dirinya. Atau jika tidak, ia takut tersandung. Lalu terjatuh. Ia menakuti banyak kemungkinan, jika tangan itu tak lagi digenggamnya.

Kaki mereka, kakak beradik itu, berjalan beriringan. Melalui jalan setapak bebatuan. Sudah sejam mereka berjalan, namun tak kunjung sampai. Tujuan mereka adalah ujung jalan itu.

45 menit berlalu…

Di tengah perjalanan melelahkan itu, mereka menemukan jalan setapak dengan arah yang berbeda. Jalan yang satu ini terlihat lebih rata. Tak ada bebatuan yang sewaktu-waktu bisa mambuat kaki terkilir. Tiba-tiba saja, sang kakak berubah pikiran. Mungkin karena terlalu lelah, atau karena melihat tujuan mereka masih terlalu jauh. Ia memutuskan mengubah haluan, mengikuti jalan yang satunya.

Sang adik, yang masih terngiang akan keindahan pemandangan alam di ujung jalan sana, tak mau terima. Digenggamnya tangan itu lebih erat. Sedikit menggoyangkannya, sambil merengek manja. “Kak, kenapa memilih jalan itu?” tanyanya dengan bola mata membulat. “Bukankah kakak sudah janji, mengajakku ke suatu tempat yang indah di ujung jalan ini? Kakak masih ingat kan?” tambahnya setengah berteriak.

Kakak itu menggeleng. “Tidak. Jalan ini masih terlalu jauh. Aku takut adik lelah,” ucap kakak seadanya.

“Tidak mau!!!” Teriak sang adik.

Keduanya bersikeras memilih jalan masing-masing. Perlahan, ia melepaskan tangan kakaknya. Rasanya beraaaat sekali! Karena keinginannya yang sangat besar, Ia melanjutkan perjalanannya. Sendirian!

Cairan bening seketika melewati pipi merah muda-nya. Kini, ia berjalan sendirian. Tanpa kakak yang melindungi, menyayangi, dan mendekapnya lembut saat ia ketakutan. Kini, ia benar-benar sendiri!

***

Tring…Tring…

Nada pesan handphone itu membuyarkan konsentrasi Chaca. “Ah, tulisanku baru setengah halaman,” gumamnya sedikit kesal. Chaca, gadis berumur 20 tahun itu beranjak dari kasurnya. Meraih sebuah handphone berwarna biru dengan kombinasi hitam pada tutsnya.

1 Massage Received
Kakak

Ia mengernyitkan keningnya. Namun, tak lama, senyumnya mengembang. Kakak? Ekspresinya masih tak percaya. Cukup lama ia menatap layar hp-nya itu.
“Ah, sudah lama aku tak menerima pesan dari kakakku. Ada apa ya? Tanyanya pada diri sendiri. Tak ingin berlama-lama penasaran, ia memencet tombol open.

“Aku minta maaf, lahir dan batin.”

Pesan itu betul-betul singkat!

Digenggamnya benda itu erat-erat. Seerat genggamanan adik pada tangan kakaknya dalam cerita yang baru saja ia tulis. Pesan singkat itu, mampu meluruhkan egonya. Seketika, ia merasakan setetes embun menetes di hatinya yang mulai kering.

Ia menjawab pesan itu. Tapi, kali ini ia tak mau meminta bantuan jaringan komunikasi. Cukup dalam hati. Ya, dalam hati. Sangaaaat dalam, hingga meninggalkan bekas.

“Kakak tak perlu minta maaf. Bukan kakak yang salah. Mungkin hanya sebuah kesalahpahaman. Aku pikir, tak ada masalah dengan semuanya. Justru aku bersyukur, karena dari sini, kita diajar untuk lebih bersikap dewasa….”

*Catatan kecil untuk seorang kakak, teman, sekaligus sahabatku.

“Tak ada yang salah, dan tak ada yang perlu meminta maaf dan dimaafkan. Belajar! Kita hanya butuh belajar. Belajar mengerti, belajar memahami, dan menyikapi sesuatu dengan lebih bijak dan sabar….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar