Jumat, 30 Maret 2012

Berkeinginanlah, Insya Allah Terwujud!

Siapa yang tak pernah memiliki hal yang satu ini? Jika ada, hemm… seperti apa ya hidupnya?

Terkadang, ada orang yang sangat mengandalkan kalimat ini, “Biarlah hidupku seperti air yang mengalir”. Apakah kamu salah satunya?

Coba kita telaah kalimat ini. Seperti air yang mengalir, means tidak mempunyai kekuatan, ikut saja ke mana alur membawanya. Dan tahukah kawan, air yang mengalir itu selalu menuju tempat yang lebih rendah. So, apa prinsip hidup seperti ini masih patut kita pertahankan?

Pernah juga saya membaca, ada orang yang prinsip hidupnya seperti layang-layang. Semakin kuat ia melawan arus angin, maka semakin tinggi ia di udara. Prinsip ini sangat kontras dengan analogi air yang sebelumnya. Kita butuh kekuatan dari diri kita sendiri jika kita ingin menjadi lebih baik. Kita butuh untuk melawan arus. Jika ikut arus, kita akan terus berada di tempat yang rendah. Setuju? ^^

Back to topic, tentang keinginan. Saya menulis catatan kecil ini berangkat dari apa yang saya alami hari ini dan beberapa hari belakangan ini. Tentang nikmatnya punya keinginan. Keinginan yang sangat kecil, jika terwujud rasanya tak berhenti mau ngucapin Alhamdulillah.

Saya ingin berbagi satu hal kecil tentang keinginan. Beberapa hari lalu, mungkin belum genap sebulan, saya nonton film Bollywood. Di film itu, diceritakan tentang seorang anak yang mengalami disleksia (kesulitan dalam membaca dan menulis). Tak ada yang memahami kondisi anak ini, bahkan oleh orang tuanya sendiri. Beberapa kali ia tinggal kelas. Bagaimana tidak, jika disuruh membaca, ia melihat huruf-huruf dalam tulisan itu seperti menari-nari.

Semua orang menganggapnya sangat bodoh. Tiap hari ia dihukum oleh gurunya dan dicela teman sekolahnya. Membuat kerusuhan tiap hari, baik di rumah maupun di sekolah, akhirnya jadi tindakan yang ia pilih untuk menutupi ketidakmampuannya ini.

Apakah ia memang benar-benar bodoh? Jawabannya TIDAK SAMA SEKALI!

Di akhir cerita, di puncak konflik perasaan yang dialami anak ini, ia bertemu dan diajar oleh seorang guru seni honorer di sekolah asramanya. Sang guru ini (yang pernah mengalami disleksia di masa kecil) lah yang akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan diri anak tersebut dan melejitkan potensinya di bidang seni, utamanya melukis. Ia akhirnya jadi yang terbaik di sekolahnya. (Happy Ending donk… hehe)

EVERY CHILD IS SPECIAL…

Kalimat di bagian pembuka film yang berhasil buat saya pake tissue sampai berlembar-lembar ini sangat membekas di hati. Habis nonton film ini, saya buka buku kecil khusus yang selalu jadi sasaran tiap kali keinginan muncul di benakku. Kuambil pena, lalu kutulis besar-besar di sana,

“SUATU SAAT, SAYA INGIN JADI PENDIDIK BAGI ANAK-ANAK YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS, SEPERTI ANAK DALAM FILM ITU. YA, SUATU SAAT… AAMIIN!”

Selesai! Kututup buku itu, dan kubuka lagi tiap aku ingin menuliskan keinginan-keinginan yang lain.

Hari ini, belum genap sebulan saya menulisnya. Saya membuka lembaran di mana dulu kutulis kalimat itu besar-besar. Saya mencoretnya! Yah, karena hari ini, keinginan itu terwujud!! Belum genap sebulan… Alhamdulillah.

Pagi tadi, sekira pukul 09.00 WITA, saya meluncur menggunakan jasa ojek menuju perumahan dosen Tamalanrea Unhas. Dua hari yang lalu, seorang dosen memintaku berkunjung ke rumahnya untuk mengajar privat pelajaran kimia untuk anak lelaki bungsunya.

Sampai di sana, ternyata si anak sudah siap dengan buku kimia berbahasa Inggrisnya. Saya pun langsung diajak masuk kemudian ditinggalkan berdua saja dengan si anak di ruang tamu. Belajar dimulai! Anak ini cukup hiperaktif. Imajinasinya ke mana-mana. Karena masih SMP, materinya masih sangat dasar, sekadar pengenalan alat-alat laboratorium, tentang sifat-sifat senyawa asam, basa, dan garam, tentang unsur-unsur dalam system periodic, dan semisalnya. Bagi saya, ngajar materi-materi dasar seperti ini mungkin sangat mudah.

Tapi bagi anak ini tidak…

Beberapa kali saya coba membahas materi di buku itu dan menganalogikannya dengan benda-benda yang ada di sekitar saya pada waktu itu. Tapi si anak sepertinya tidak terlalu paham. Apalagi waktu membahas masalah asam, basa, garam, dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi. Saya melihat ia mulai bosan.

Selama proses belajar-mengajar yang lebih banyak dibumbui dengan candaan itu, si anak lebih banyak bertanya tentang hal-hal yang justru menurutku sangat imajinatif, berangkat dari kenyataan yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari dan apa yang diamatinya lewat media seperti televisi.

“Kak, orang yang lagi berada di dalam laut dan yang ada di ruang angkasa itu sama ya… sama-sama pakai tabung besar di punggungnya. Tabung itu untuk apa? Isinya apa?” Ini salah satu pertanyaannya.

“Isinya Oksigen (O2), digunakan untuk bernapas” jawabku. Kebetulan waktu itu kami lagi bahas mengenai ikatan kimia dan salah satunya adalah Oksigen.

“Kenapa harus oksigen? Apa tidak bisa bernapas pakai carbon monoksida (waktu itu dia lihat di buku ada tulisan “Carbon Monoksida”) atau Karbondioksida saja?” tanyanya lagi.

Demikian seterusnya, ia bertanya berbagai macam pertanyaan setelah mengimajinasinya. Terkadang, saya melihat ia diam sebentar, terlihat berpikir, kemudian melontarkan banyak pertanyaan-pertanyaan.

Saya sih senang-senang saja menjawabnya. Tapi saya merasa tidak enak dengan orang tua anak ini, yang mengharapkan saya mengajar Kimia untuk anaknya. Sementara, saya melihat anak ini tidak terlalu senang belajar teori kimia. Matanya baru akan melek jika melihat angka atau berbicara masalah rumus-rumus. Hemm…….

Tingkah anak ini tak seperti anak biasanya. Sering berbicara ngawur, bertingkah aneh, dan hal tak lazim lainnya. Apa yang saya pikirkan saat itu? Saya bersyukur. Karena ternyata keinginanku dulu, yang belum genap sebulan kutulis di buku kecilku hari ini terwujud.

Seusai balajar-mengajar, saya sedikit berbincang dengan orang tua si anak. Menurut orang tuanya, anak ini memang memiliki kelainan, tidak seperti anak kebanyakan. Dia tidak mampu menganalisis. Dia sulit mencerna apa yang disampaikan kepadanya.

Dalam hati saya tersenyum simpul. Bukan karena bahagia dengan keterbatasan anak ini, tapi karena mengingat keinginan itu. Allah mendengarnya. Dan hari ini Allah menghadiahkannya untukku. Sedikit banyak, saya mulai merasakan repot, nikmat, dan enaknya ngajar anak ini. Melatih kesabaran, menuntut untuk selalu tersenyum, melihat tingkah-tingkah menyebalkannya sebagai sesuatu yang justru menantang kekreativan.

Saat menulis catatan kecil ini, saya merefleksi kembali list-list keinginan kecil hingga besar yang pernah kuikrarkan. Semakin kujajaki satu persatu keinginan itu, semakin kulihat Maha Penyayangnya Allah. Sangat banyak hal-hal yang dulu hanya berupa keinginan, namun kini terwujud, meski dalam bentuk yang tidak terlalu mirip.

Berkeinginanlah, Insya Allah terwujud!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar