Sebuah Review (Bidadari-Bidadari Surga_Tere Liye)
Kakak… Sosok yang selama ini mungkin kita abaikan perannya. Yang selama ini, mungkin, dalam benak kita hanya sebagai teman bertengkar masa kecil. Yang selalu memainkan peran antagonis dalam tiap keinginan yang kita lontarkan. Ah, atau mungkin hanya aku yang merasakannya.
Paradigma itu kian luntur tiap membuka lembar demi lembar novel hasil goresan pena Tere Liye ini. Bidadari-Bidadari Surga!
Sepintas, judul ini mungkin membuat memori otak kita memunculkan persepsi, layaknya novel religi yang kian menjamur di toko-toko buku. Sebuah judul yang rasanya˗maaf-biasa-biasa saja. Membuat orang awam akan karya sastra seperti saya beranggapan sinis. Dan mulai mendiktatori pikiran dengan ungkapan “pasti akan bosan membacanya!”
Sudah terlalu sering saya melewatkan novel ini, tanpa sedikitpun berniat membuka, bahkan sekadar membaca apresiasinya di sampul bagian belakang. Rasa antusias itu muncul, diikuti semangat untuk menyelami ‘sesuatu’ yang disajikan dalam karya ‘Kak’ Tere ini, saat beberapa teman terdekat merekomendasikannya sebagai karya yang sangat rugi jika dilewatkan. Tak salah memang. Prestigious!
Tak seperti biasanya, saya selalu sistematis jika membaca buku, termasuk novel. Mulai dari sampul, ucapan-ucapan apresiasi, penerbit, tahun terbit, hingga kepada siapa karya itu dibuat. Tak ada satu pun huruf yang kulewatkan.
Namun, ketika mulai membuka halaman pertama, saya lebih tertarik langsung menikmati kata demi kata yang terketik rapih pada bagian isi. Bukan karena novel ini tak dilengkapi dengan sampul yang menarik ataupun ucapan apresiasi. Tidak. Bukan itu. Bahkan sebaliknya! Mungkin rasa antusias yang sangat besarlah, sehingga saya tidak sabaran untuk langsung ‘melahap’ isinya.
Tersentuh, kagum, semangat! Rasa itu tercampur aduk menguasai sisi emosionalku. Oh ya, satu lagi, sedih.
Cerita dimulai dengan gambaran wanita pucat yang terbaring sakit, didampingi seorang nenek tua berwajah tirus. Awalnya, saya agak susah mencerna maksud penggambaran awal itu. Tapi, sedikit demi sedikit ketidaktahuan itu terjawab ketika mulai mengikuti alurnya. Ya, alur yang sedikit rumit, namun menyenangkan!
Mamak Lainuri, wanita tua yang saya gambarkan berwajah tirus itu adalah seorang wanita yang hebat. Ia berhasil melahirkan generasi-generasi cemerlang dalam berbagai bidang keilmuan maupun bisnis, justru dengan segala keterbatasannya. Rumah tempat mereka meluapkan segalanya adalah yang terburuk dan terkecil di Lembah Lahambay. Rumah mereka, yang paling ujung, paling kecil, dengan seng yang berkarat pula!
Dalimunte, seorang professor muda bidang fisika misalnya. Hasil penelitian ilmiahnya “Bulan yang Terbelah”, memberikan satu lagi bukti kebenaran ayat qauliyah, tentang mukjizat nabi akhir zaman. Hasil risetnya inilah yang mengantarnya termasuk dalam 20 ilmuwan paling berpengaruh di bidang Fisika. Bahkan, sudah diperkirakan, dalam beberapa tahun lagi ia akan meraih nobel untuk temuan agungnya itu.
Tak ingin jalan di tempat, Ia pun kembali mengerahkan tenaga, waktu, dan kemampuan berpikirnya yang luar biasa untuk membuktikan kebenaran ayat yang lainnya. Bahwa, pada akhir zaman akan terjadi peperangan dengan menggunakan alat konvensional, satu lawan satu, menggunakan pedang.
Pemikirannya (yang sebenarnya memiliki landasan kuat) ini tak ayal menuai ungkapan pesimis dari banyak kalangan. Namun, karena kuatnya kepercayaan akan kebenaran Al-Qur’an dan hadits, ia tetap melanjutkan kerja ilmiahnya. Buah manis pun sebentar lagi dipanen. Teori dari hasil penelitian ‘keras’nya itu membuahkan temuan terbaru dan sekaligus berpengaruh,”Badai Elektromagnetik Antar Galaksi” yang akan menghantam planet ini pada hari kiamat.
Pada bagian ke-2 isi novel ini, digambarkan dengan sangat jelas, dilengkapi ungkapan-ungkapan ilmiah tentang peristiwa masa lalu. Kisah Nabi Sulaiman (atau Solomon) menjadi pilihan kisah yang asyik untuk dicermati dari sisi ilmiahnya. Sangat gamblang rasanya, betapa ayat demi ayat yang tertulis indah dalam kalam-Nya adalah sebuah bukti kebenaran yang nyata. Tidak berakhir hanya pada kata mukjizat ataupun karomah. Namun, dapat dimunculkan dari sisi ilmiahnya.
Pikiran saya pun mulai terbuka. Phobia dengan pelajaran Fisika di masa SMP-SMA mulai terkikis. Ternyata, Fisika itu menyenangkan! ^_^
Tentunya, jika kita menguasai teorinya dan menerapkannya dalam suatu aplikasi nyata dalam kehidupan. Sayangnya, saya, mungkin juga teman-teman yang lain, masih terkendala prinsip yang satu ini. Hehe…
Perhatian saya semakin ditarik oleh satu-dua paragraf yang memaparkan, kemajuan manusia itu tak lain ibarat roda yang berputar. Ketika ia berada di puncak, maka tunggulah. Sebentar lagi, ia akan berada di titik nol. Gambarannya semakin jelas ketika mengambil contoh kisah Nabi Sulaiman tadi.
Siapa bilang manusia itu semakin maju dalam hal peradaban ataupun teknologi? Tak dinyana, ternyata masa yang digembar-gemborkan sebagai masa kecemerlangan teknologi seperti saat ini, hanyalah keterulangan, yang bahkan belum mencapai puncaknya. Dan, dalam goresan pena kak Tere ini, kembali digambarkan beserta landasan-landasan Qur’ani maupun ilmiah yang menjadi backgroundnya. Kiamat akan terjadi tepat setelah manusia kembali mencapai puncak kemajuannya, dan entah oleh apa, kemudian kembali ke titik nol.
Saat berada di titik nol inilah, terjadi peperangan konvensional sesaat sebelum kiamat itu benar-benar terjadi. “Badai Elektromagnetik Antar Galaksi”, sebuah teori yang mungkin saja benar! Teori yang ditemukan oleh peran Dalimunte dalam kisah ini. Namun, semuanya tak lagi memiliki arti, ketika ia menerima sebuah pesan singkat di handphone khusus keluarga. Pesan dari Mamak Lainuri. Isinya pun benar-benar singkat. Hanya 203 karakter!
Pulanglah anak-anakku! Untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian membutuhkan kalian…
Saya makin ketagihan plus penasaran dengan cerita selanjutnya.
Wibisana dan Ikanuri, dua tokoh yang menjadi perbincangan selanjutnya. Dilahirkan selang beberapa bulan oleh Mamak Lainuri, namun perawakan fisik bahkan sifatnya lebih dari kembar!
Perjalanan bisnisnya ke Roma, Italia, yang semula terasa begitu penting dan akan menyenangkan, kemudian berbalik haluan. Tepat ketika mereka menginjakkan kaki di Roma, handphone khusus keluarga yang terletak di saku celana berdering. Seperti halnya Dalimunte, kakak mereka, hanya enam orang yang mengetahui nomor itu, termasuk mereka berdua. Pesan berisi 203 karakter itu pun mereka buka.
Pulanglah anak-anakku! Untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian membutuhkan kalian…
Saya makin penasaran….
Seberapa pentingkah sosok seorang kakak yang dimaksud dalam SMS itu bagi mereka.
Saya mencoba membaca beberapa lembar lagi untuk menemukan jawabannya. Namun, tak kunjung terpecahkan. Malah semakin kuat.
Di bagian ke-4, diceritakan hal serupa dengan tokoh Yashinta, si bungsu dalam keluarga ini. Penelitiannya tentang spesies burung baru yang mampu terbang dengan ketinggian yang hanya dicapai pesawat tak lagi berarti. Meskipun, untuk hal yang satu ini, ia bersama dua rekannya harus menahan dinginnya hawa puncak gunung paling tinggi di Jawa. Penemuan baru yang membuat pipinya kemerahan-saking senangnya-itu tiba-tiba saja jadi kabar angin. Saat ia membaca sebuah pesan dengan 203 karakter pada handphone khusus keluarga.
Pulanglah anak-anakku! Untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian membutuhkan kalian…
Saat itu pula, ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya, dan hanya bisa berkata “aku harus pulang!”
Kak Laisa, hanya satu nama itu yang kutangkap pada tiap bagian cerita ini. Rupanya nama itulah yang memiliki kekuatan besar bagi keempat tokoh ini untuk pulang. Siapa Kak Laisa? Siapa dia? Diakah Bidadari Surga yang dimaksudkan dalam judul? Atau apa?
Ah, saya semakin penasaran…
(To be continued...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar