Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Maret 2012

Otonomi Daerah Versus Negara Federal

(Tulisan ini adalah catatan hasil diskusi Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Unhas Cabang Makassar Timur)

Indonesia, jika dilihat dari basic historinya, telah mendeklarasikan diri pada tahun 1945 sebagai negara yang berdaulat dengan beberapa model sejarah. Sebelum berdiri sebagai sebuah negara, Indonesia berada dalam fakta heterogenitas budaya.

Karenanya, dalam pengertian negara dan bangsa, Indonesia tak dapat disebut sebagai negara bangsa. Bangsa, secara defenisi merupakan ikatan komunitas yang berdiri berdasarkan ikatan budaya, sedangkan negara berdiri berdasarkan ikatan administratif. Beda halnya dengan Inggris, Amerika, serta beberapa negara di Eropa. Negara-negara ini pertama kali didirikan oleh orang-orang yang memiliki ikatan budaya yang sama.

Berdasar hal ini, ada suatu keanehan ketika kita mengkontekskan fakta heterogenitas itu dalam sebuah negara kesatuan. Di mana sebuah negara kesatuan cenderung dengan satu ciri mutlaknya, yaitu sentralistik.

Hal ini pula yang menyebabkan munculnya beberapa daerah di Indonesia yang tetap bersikukuh dengan adat-istiadatnya. Alhasil, tampaklah sebuah pengkhususan terhadap beberapa daerah seperti Yogyakarta, Aceh, dan Papua, yang wajahnya seperti sebuah negara dalam negara. Ada sebuah sistem pemerintahan yang tidak bertanggung jawab secara administratif kepada negara. Misalnya saja, sistem pemilihan langsung kepala daerah yang tidak berlaku di daerah Yogyakarta.

Dari adanya fakta heterogenitas ini pula, jika dimasukkan dalam konteks negara kesatuan, pada akhirnya akan melahirkan pengecualian-pengecualian. Yang pertama, adanya daerah yang dijadikan sentrum atau pusat.

Desain yang dibangun di Indonesia saat ini adalah desain yang telah dibangun 32 tahun yang lalu sejak zaman orde baru, di mana sentralistik yang dibangun Soeharto adalah sentralistik murni.

Ketika Jakarta dijadikan sebagai ibukota negara RI, dengan sistem sentralistik yang terjadi dalam bidang keuangan (lihat UU no.17 tahun 2003), diketahui bahwa pendapatan negara berasal dari dua pos besar yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Sumber Daya Alam (SDA).

Sistem keuangan yang dianut negara adalah sistem di mana aliran keuangan seperti air yang mengalir ke bawah. Jakarta dijadikan sebagai sentrum. Faktanya, Jakarta yang sama sekali tidak memiliki SDA dapat menjadi daerah dengan keterputaran uang di atas rata-rata. Ada hegemoni sistemik, di mana efek dari adanya satu daerah yang dipilih sebagai simbol yang mewakili daerah-daerah lain, menghasilkan keuntungan tersendiri bagi daerah tersebut.

Seperti halnya Kota Makassar yang sebenarnya tidak memiliki peranan sama sekali bagi kebudayaan-kebudayaan yang ada di Sul-Sel. Makassar bukanlah pusat pemerintahan kerajaan Gowa, Bugis, dan sebagainya. Makassar hanyalah kota pelabuhan, di mana banyak bangunan bergaya arsitek Belanda. Kota ini tidak memiliki akar sejarah apapun terhadap berdirinya Sul-Sel.

Namun, ketika kota ini dijadikan sebagai ibukota propinsi, daerah-daerah lain yang dulunya memiliki akar sejarah yang kuat, harus dimatikan dari segi ekonomi dan pembagian SDA. Desainnya sederhana saja. Semua pusat pemerintahan disetting sebagai daerah niaga. Dan semua daerah tingkat dua, diset sebagai daerah produsen. Efek yang ditimbulkan tak hanya berdampak bagi kondisi fisik daerah tersebut, tapi juga merambah pada cara berpikir masyarakat dan persoalan bagaimana model-model interaksi.

Jika ditinjau dari hukum tata negara, satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem otonomi daerah hanya Indonesia. Ada satu hal aneh jika kita melihat dasar hukum penerapan otonomi daerah di Indonesia. Ada beberapa dasar hukum yang melandasinya. Dari konstitusi, kita bisa melihat pada pasal 18A yang menyebutkan tentang pemerintahan daerah. Juga pada UU no. 32 tahun 2004.

Yang jadi sorotan adalah pasal 37 ayat 5 UUD 1945. Di pasal ini, ada satu statement yang aneh. Entah mengapa pasal tersebut dimasukkan sebagai sebuah nomenklatur dalam UUD. Pasal itu berbunyi, “Apapun pembahasan dalam UUD ini dapat dibahas kembali kecuali tentang bentuk negara kesatuan.”

Pasal ini, seakan-akan berupa sebuah bahasa ketakutan akan bergantinya Indonesia dari bentuk negara kesatuan menjadi negara federal. Yang jadi pertanyaan, kenapa Indonesia ‘mengharamkan’ bentuk negara lain selain negara kesatuan? Padahal, berdasarkan fakta historis, Indonesia sangat cocok dengan bentuk negara federal.

Perbedaan substansial antara negara federal dengan negara kesatuan terletak pada sistem pemberian kewenangan, atau dalam ilmu kajian tata negara disebut sebagai teori residu kewenangan. Dalam sistem negara federal, yang menentukan kebijakan pertama kali adalah pemerintah di tingkat daerah. Jadi alurnya dari daerah ke pusat. Sistem keuangan yang digunakan adalah sistem bottom up (dari bawah ke atas).

Pemerintah kemudian membuat terobosan dengan membuat UU no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Konsepnya, berdasarkan gagasan Prof DR Riyas Rasyid, Dewan Pembina PDK, yang menggagas pentingnya pembentukan sebuah sistem pemerintahan yang sesuai dengan bentuk kultur Indonesia. Semestinya, gagasan ini diarahkan pada pembentukan negara federal.

Otonomi daerah adalah pemberian tugas dan kewenangan seluas-seluasnya kepada daerah untuk mengelola tugas yang diberikan oleh pusat. Otonomi daerah adalah konsep yang dibuat untuk mempertemukan dua titik ekstrim. Titik ekstrimnya adalah, secara konstitusi Indonesia harus menganut sistem negara kesatuan, tapi di sisi lain merupakan negara yang multi budaya.

Akar masalahnya terletak pada alasan prinsipil yang mendasari pembentukan negara kesatuan. Padahal, bentuk negara kesatuan tidak pernah memberi kontribusi yang besar terhadap perkembangan wilayah Indonesia. Mungkin, alternatif yang bisa diterapkan adalah berpindah ke sistem negara federal.

Buku, Mercusuar Peradaban

Seringkali saya menggerutu mengingat celetukan seorang teman. Kita ini sekolah di sekolah yang sama, guru-gurunya juga sama, mata pelajaran dan jam masuk sekolah pun sama. Setelah lulus, ada yang pintar, ada juga yang tetap gak pintar. Ada yang jadi pegawai bank, ada juga yang kerjaannya ngutang di bank. Ada yang jadi orang kaya dan dermawan, yang jadi maling juga ada. Banyak yang jadi pegawai kantoran, yang jadi pengangguran juga tak kalah banyak.

Ingatan itu kemudian segera disusul dengan ingatan lain. Sebuah pepatah. “Membaca adalah membuka jendela dunia.” Saya tahu! Bahkan sejak SD saya tahu pepatah itu. Semangat membaca inilah yang seringkali hilang dan terkikis, atau bahkan tak pernah ada. Terkalahkan oleh suara merdu gadis manis dalam sinetron, atau infotainment yang menyiarkan perceraian artis-artis cantik yang kini marak, atau kemesraan artis muda yang sedang dilanda asmara.

Bahkan film-film kartun terasa lebih menggoda daripada papan tulis kucel sewaktu saya SD. Sambil mengingat masa kecil, membaca jadi aktivitas yang teramat berat untuk dilakukan. Bisa jadi, membaca hanya jadi obat tidur yang lumayan manjur.

Ah, kalau saja banyak buku yang sempat saya baca, pasti akan saya ceritakan tentang sejarah dunia dan peradabannya. Tak sekadar ocehan saya yang menjemukan. Tentang demokrasi, globalisasi dan lain sebagainya. Atau akan kujelaskan perputaran bumi dengan rumus-rumus matematika yang kuracik dengan teori fisika, bahkan tentang alam semesta yang kupadukan dengan teori-teori kimia.

Saya akan beberkan tentang teori ekonomi baru untuk memberantas kemiskinan, barangkali bisa membuat adik-adik kita merasa nyaman berangkat ke sekolah tanpa harus berpikir besok makan apa. Dan tak perlu risau krisis gobal di Amerika.

Di waktu luang akan saya ciptakan metode baru pengelolaan sampah yang gampang ditiru, sehingga tak perlu lagi negara butuh pemulung yang terus mengais, tak ada lagi saudara kita menjadi korban dan mati tertimbun tumpukan sampah. Akan saya kaji ulang hukum-hukum, bila perlu saya buat yang lebih relevan sehingga tak ada lagi permasalahan hak asasi manusia.

Atau saya ciptakan saja alat pendeteksi bencana, sehingga banjir dan gempa tak perlu lagi menjadi alat Tuhan mengambil nyawa. Atau kusiapkan modul tentang itu semua untuk dapat dilaksanakan bersama dengan negara. Kalaupun negara kita tak mau melaksanakannya, biarlah kumaki sendiri saja setelah selesai mengajari anak-anak belajar membaca.

Itu “kalau saja”. Sekarang, mari menengok ke depan.

“Episto ergo sum, Saya menulis karena saya ada”

Slogan ini saya pilih untuk meneguhkan diri sebagai seorang yang mulai senang menulis. Menulis, bagi saya bukan sekedar bergaya pamer pengetahuan atau menyehatkan pikiran. Menurutku, dengan menulis, kita berderma pengetahuan.

Akumulasi pengetahuan yang ada pada diri kita bertambah awet dan banyak ketika kita membagikannya. Kesenangan menulis mungkin terdorong dari mulai tumbuhnya kegemaran melahap bacaan. Kini, bagi saya, membaca adalah membuka diri untuk memperoleh virus-virus wawasan baru. Untuk terus-menerus mendidik diri sendiri. Saya ingat nasehat John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money From Ideas (2001), ”Leave school early, if you want, but never stop learning.”

Keduanya, menulis dan membaca, adalah hal yang saling melekat satu sama lain. Ia seperti aktivitas metabolisme dalam tubuh. Dengan menulis, saya seperti melakukan aksi donor darah. Darah disedot secukupnya melalui menulis. Kemudian, saat membaca, seolah saya memperoleh darah-darah yang baru untuk mengalir di tubuh ini.

Tulisan yang kita tulis, juga saya ibaratkan sebagai nyala kunang-kunang. Tidak semua orang akan merasa takjub atau mampu memahami sinar yang ia pancarkan. Tapi, bagi orang tertentu, bila terjadi ‘klik’, tulisan itu dapat menjadi cahaya yang bermakna bagi banyak orang.

Apalagi bila cahaya itu memiliki voltase yang tinggi. Misalnya, memiliki relevansi, nilai-nilai moral, bukan slogan, tapi ketukan yang mampu menyapa hati. Agar mampu menulis tulisan yang bervoltase tinggi itu, seringkali, mau tak mau harus merujuk kepada sumber-sumber cahaya tertentu, utamanya buku.

Buku jadi prasyarat utama peradaban menggapai kemajuan dan kejayaan. Dari buku, akan lahir berbagai pemikiran cerdas nan cemerlang yang mampu menyingkap tabir alam semesta ciptaan Tuhan. Buku hadir bukan sekadar ditulis, dijual, dibeli, dan dibaca.

Buku menghadirkan titik-titik pusar hidup yang dapat dijadikan starting point membuka perubahan. Berubah dari kegelapan menuju kecemerlangan. Dari miskin konsep menuju kaya konsep.

Dari sini, dapat dianalisis bahwa kedatangan Muhammad di Jazirah Arab oleh Allah pertama-tama dibekali dengan buku berupa Al-Qur’an, yang perintah pertamanya adalah membaca (Iqra’). Dari Al-Qur’an inilah, Nabi sukses memahat Jazirah Arab sebagai monumen berdirinya negara demokrasi paling bersejarah di dunia.

Begitu hebatnya makna buku dalam menggenggam dunia, maka sebuah keniscayaan bagi kita untuk terus bergelayut dengan buku. Sebagai mercusuar peradaban, buku menjadi agen penting tumbuhnya kesadaran kritis berbangsa. Indonesia sampai kini belum memberikan perhatian penuh terhadap pengembangan buku. Masyarakat Indonesia masih ‘bangga’ dengan ketidakmampuannya membaca.

Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya jumlah orang buta huruf di Indonesia. Kalau di kota besar, kita bisa menjumpai beragam perpustakaan. Tapi di desa? Perpustakaan dan toko buku sangat sulit ditemui. Masyarakat lebih dikejar gaya hidup budaya pop. Laju budaya pop begitu bergemuruh, sedangkan laju buku terhambat, pampat di jalan.

Jika bangsa ini ingin masyarakat desanya menjadi berperadaban, proyek pembuatan perpustakaan mestinya bukan sekadar di wilayah kabupaten, namun sampai di pedesaan. Pemerintah pusat perlu membuat kebijakan agar seluruh pemerintah desa membuat perpustakaan umum warga. Di sanalah nanti akan terjadi transmisi keilmuan yang merata. Nalar kritis akan terbangun.

Tak hanya itu, bagi kaum terpelajar, khususnya intelektual yang telah banyak ‘makan’ buku, seharusnya juga berinisiatif mendirikan rumah baca, minimal bagi tetangganya. Apalagi, kalau si kaum terpelajar langsung terjun memelopori semangat membaca warga. Di situlah akan tercipta masyarakat kritis dan kreatif baru yang dapat mengubah sejarah peradaban dunia.

(Dari berbagai sumber)