“Gerakan mahasiswa ibarat ombak yang tidak pernah berhasil mencapai pantai.
Gerakan itu pecah berkeping-keping,
Melewati batu-batu karang
Atau pasir-pasir penghalang gerakan mereka”
(Daniel Dhakidae di Majalah Prisma tahun 1980-an)
Indonesia, dulu, kini dan nanti tetap membutuhkan kaum intelektual yang bukan saja kaya akan konsep-konsep ilmiah, namun juga mau terjun langsung ke lapangan. Kaum intelektual Indonesia bukanlah “orang yang berumah di atas angin”. Mereka juga bukan cerdik cendekia yang tinggal di “Menara Gading” (Ivory Tower) yang tercerabut dari akar masyarakatnya dan hidup di awang-awang. Melainkan, dan terlebih lagi, harus siap bagaikan “resi yang turun dari tempat pertapaan mereka di gunung-gunung sepi.” Artinya, hasil kontemplasi pemikirannya sebagai resi yang bertapa menimba ilmu di universitas dijabarkannya dalam pemikiran dan tindakan nyata di masyarakat.
Nuansa pergerakan mahasiswa memang berubah dari zaman ke zaman. Di awal pra-kemerdekaan, mereka berjuang membangun fondasi kebangsaan yang amat kokoh. Pada awal kemerdekaan mereka juga masih berjuang untuk membangun rasa keindonesiaan yang mendalam. Baru pada 1960-an, para kaum intelektual kampus mulai bicara tentang “Amanat Penderitaan Rakyat”.
Namun, yang terjadi sekarang, begitu banyak perbedaan ironi yang mewarnai gerakan mahasiswa. Jika para aktivis mahasiswa masa lalu mendasari aktivitasnya dari bacaan-bacaan yang amat kaya, kini sebagian besar mahasiswa lebih mendasari pergerakannya pada gegap langkah yang kadang miskin akan ide untuk memberi arah bagi Indonesia masa depan.
Akankah mahasiswa dan kelompok intelektual masih memiliki greget dalam gerakan politik mereka demi perbaikan nasib rakyat? Segalanya masih mungkin, walau kondisi social ekonomi mahasiswa saat ini, khususnya di kota-kota besar, amat berbeda dengan kondisi pada masa lalu. Kebanyakan mahasiswa saat ini berasal dari keluarga golongan menengah ke atas, karena hanya merekalah yang mampu mengenyam pendidikan tinggi yang kian tahun makin mahal biayanya. Tak heran, biaya kuliah menjadi bagian dari fokus utama gerakan mahasiswa di internal kampus-kampus universitas negeri.
Relasi mahasiswa dengan lingkungannya juga semakin berubah, di mana kelompok diskusi bukan lagi terfokus mengenai persoalan kemiskinan, ketidakadilan, atau demokrasi, melainkan pada gerakan-gerakan dakwah atau keagamaan di dalam kampus. Di satu sisi, sebagian besar mahasiswa semakin sadar tentang hubungan antara aktivitas keilmuan dan keagamaan. Namun, di sisi lain mereka kurang menyelami realitas social ekonomi di luar kampus. Kesan ini muncul jika kita menginjakkan kaki di kampus-kampus universitas negeri.
Semangat mahasiswa untuk tetap bergerak sebagai kekuatan moral, mudah-mudahan tidak memudar walau zaman telah berganti. Namun asumsi lama nampaknya tetap berlaku, saat kondisi social, politik, dan ekonomi negara mengalami kemerosotan yang amat tajam, ketika persoalan keadilan di dalam masyarakat menjadi bagian dari kenyataan hidup sehari-hari, ketika parlemen tak lagi dapat mengontrol eksekutif, ketika itu pula para aktivis mahasiswa, atas nama amanat penderitaan rakyat, akan bergerak kembali turun ke jalan.
Mahasiswa akan tetap menjadi kekuatan moral yang diandalkan, meski mereka adalah kekuatan anonim yang tidak memiliki struktur organisasi yang baku. Sebagai calon pemimpin bangsa masa depan, sesuai dengan slogan “Student Now, Leader Tomorrow,” mahasiswa harus tetap menyuarakan perbaikan nasib rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar