Tak ada jingga di senja hari ini. Hanya rinai hujan yang menemani langkahku sore tadi. Menyusuri jalan setapak, melintasi Fakultas Teknik dengan sejumlah pemuda yang terlihat asyik memperebutkan sebuah bola di lapangan. Yah, tak ada yang istimewa. Rutinitas sore yang selalu datar-datar saja.
Aku tiba di kosan beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang. Masih seperti biasanya—yang datar-datar saja—aku menampakkan raut wajah lelah ke teman-teman yang sedang asyik bercengkrama di beranda kos. Sedikit mengulum senyum, lalu beranjak ke kamar tanpa mengucap kata sepatah pun.
Namun, kali ini ada yang tak seperti biasanya. Obrolan dua orang teman di beranda nampak sedikit serius sore tadi. Yang satunya terdengar selalu memilih intonasi tinggi. Sedang yang satunya menimpali dengan suara agak merendah.
Obrolan mereka lamat-lamat terdengar. Aku mendengar kata “rumah sakit, pasien, dan dokter”. Karena kunci kamar belum juga kutemukan, aku memutuskan kembali ke beranda dan mendengar lebih utuh, apa yang tengah mereka persoalkan. Pikirku, tiga kata itu tak jauh-jauh dari profesiku sebagai seorang yang selalu berkutat dengan teori pengobatan.
“Dokter itu tak punya nurani ya?! Pasien sudah kesakitan malah dicuekin. Nanti setelah pasiennya pingsan, baru mereka bertindak. Ke mana sumpah mereka dulu?” kata itu yang kutangkap pertama kali saat membaur bersama mereka. Aku mengernyitkan kening, lalu melontarkan sebuah tanya, “kenapa kak? Ada apa dengan dokter?”
Orang yang kupanggil dengan sebutan Kak itu lalu mengulang kisahnya. Beberapa hari yang lalu, katanya, saat ia mengantar seorang rekan ke sebuah rumah sakit milik pemerintah, hal tak mengenakkan hati membuatnya sedikit memberontak dan mempertanyakan esensi sumpah seorang dokter.
Waktu itu ia melihat seorang ibu yang terlihat sangat tersiksa menahan sakit di perutnya. Herannya, tak ada satu orang dari pihak rumah sakit pun yang memedulikannya. Parahnya lagi, ia melihat beberapa orang dokter hanya berbincang sambil tertawa-tawa di sebuah ruangan yang tak jauh dari ibu yang kesakitan itu. Tak lama berselang, si ibu pingsan. Karena muak melihat tingkah para dokter dan jajarannya ini, ia berteriak ke arah dokter, “Eh, saya kira kalian pernah bersumpah. Lalu, ke mana sumpah itu sekarang? Kenapa kalian membiarkan pasien ini kesakitan hingga pingsan?”
Intonasinya meninggi saat mengucap kata terakhir. Aku mulai paham apa yang membuatnya geram. Teman yang satunya turut menimpali dengan menceritakan pengalaman yang tak jauh berbeda. Yah, semuanya tentang “buruknya pelayanan di rumah sakit.”
Aku tak berkomentar sedikitpun. Hanya hatiku yang bergetar, disusul memori-memori kekecewaan terhadap pelayanan di rumah sakit.
Memori itu rasanya semakin lekat saat aku memasuki kamar dan berbincang dengan hati. Kalau berbicara soal “tak becusnya para pekerja di bidang kesehatan”, aku pun memiliki banyak kisah.
Pernah suatu hari di tahun pertama aku berstatus mahasiswa, aku dibentak seorang dokter saat membawa teman ke rumah sakit karena kecelakaan. Waktu itu aku sendirian. Tak terbayang bagaimana paniknya yang kurasa saat itu. Tak pernah sebelumnya aku membawa seseorang ke rumah sakit. Apalagi karena kecelakaan, yang membutuhkan pertolongan dengan cepat. Batinku berontak saat itu. Satu jam berselang, tak ada dokter atau perawat atau pegawai manapun yang peduli dengan kami. Aku lalu bergumam dalam hati, “apa harus urus administrasi dulu ya, baru dilayani?”
Seingatku, dulu aku hanya disuruh nunggu. Karena menurutku nunggunya sudah kelamaan, aku mulai protes (ala mahasiswa baru yang mulai ditanamkan idealisme di pengkaderan, hehe). Kulihat, beberapa orang yang memakai papan nama bertuliskan “Dokter Muda” berkerumun mengelilingi temanku. Berbincang sebentar, menyebut beberapa istilah yang sedikit banyak kupahami. Heranku, mereka hanya berkerumun, melihat sebentar, kemudian pergi. Tak melakukan apa-apa. Gumamku, ah, mereka ini baru mau belajar ya?
Aku kemudian mendatangi seorang dokter yang terlihat lebih senior. Memprotes, kenapa belum ada tindakan sama sekali untuk mengurangi rasa sakit yang sedari tadi ditahan oleh temanku. Tanpa berpikir panjang, aku melontarkan sebuah kalimat yang membuat dokter itu naik pitam. “Dok, sekarang bukan waktunya belajar dan mengajar. Sekarang itu waktunya aplikasi, praktik! Bagaimana jika pasien Anda meninggal sebelum Anda paham dengan apa yang Anda pelajari itu?”
Ia menatap saya, tajam! Lalu berkata, “ah, kamu ini anak kecil tau apa?” Aku tak membalas perkataannya. Hanya memasang wajah manyun, tanda tak senang dengan pelayanan di RS ini. Aku membatin, katanya ini RS terkenal di Makassar. Apa bagusnya ya? Lagipula, dokter itu nda tau ya, aku tau apa yang mereka perbincangkan tadi. Aku tau istilah-istilah yang mereka sebutkan tadi, aku ini kan belajarnya di Farmasi… (hehe… tertawa sendiri kalau ingat masa itu)
Kawan, itu hanya sekelumit kisah tentang betapa belum profesionalnya para pelayan kesehatan sekarang. Itu baru satu bidang, belum bicara bidang lain, Farmasi atau apoteker misalnya. Yang selama ini kujumpai, belum ada pelayanan informasi obat dari apoteker-apoteker yang bertugas di RS. Apotek, akhirnya hanya jadi semacam ‘warung’. Bedanya, isinya hanya obat. Apoteker pun tak lebih dari sekadar ‘penjaga warung’. Duduk di belakang meja, menunggu keluarga pasien datang membawa resep, kemudian memberikan obat sesuai dengan daftar obat yang ada di resep itu. Tak pernah sekalipun aku menemui atau mendengar cerita, bahwa mereka memberikan pelayanan informasi obat. Tentang obat apa yang sebenarnya bisa diganti dengan yang lebih murah, namun berkhasiat sama (jika pasiennya tergolong berpenghasilan rendah). Tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan obat itu, dan hal urgent lainnya.
Mungkin, para dokter dan apoteker akan geram jika membaca tulisan ini. Tapi, seperti itulah yang terjadi Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyoya… Aku tahu, kita diajarkan etika profesi di bangku kuliah. Bahkan, aku pernah mengambil sebuah matakuliah dan praktikum simulasi aktivitas di apotek. Kesimpulanku dari praktikum itu, sangat idealis dan sangat beretika. Kita diajarkan bagaimana mendahulukan kepentingan pasien dan memberikan hak-haknya. Bagaimana berdiskusi dan konfirmasi dengan dokter jika ada peresepan yang dianggap keliru atau dapat diganti. Yah, teori hanyalah teori. Hingga detik ini, tak lebih dari dua RS di Indonesia yang kuketahui menerapkan informasi pelayanan obat ini. Wallahu a’lam…
Maka, seperti itulah mungkin, jika dalam pembelajaran kita terlalu ditekankan pada sisi ilmiahnya saja, tanpa menyentuh human-nya. Aku melihat dan membaca, betapa bangganya mereka yang telah di”sumpah” sebagai seorang dokter atau apoteker atau ners, dsb. Tapi, tahukah mereka, sumpah itu didengar oleh Dia Yang Maha Mendengar. Diketahui oleh Dia yang Maha Tahu. Dicatat oleh Dia yang Maha Teliti. Dan kelak, akan dimintai pertanggungjawabannya. Sadarkah mereka, pasien dan keluarga pasien menganggap mereka seolah Sang Dewa Penyelamat. Adakah sedikit kepekaan dari mereka, bahwa sekilas senyum tulus dan kata-kata bijak yang mereka ucapkan, jika disertai keramahan bisa jadi obat yang mengalahkan khasiat obat-obat sintetik yang bertebaran di apotek.
Engkau, yang telah mengucap sumpah itu… Pekalah dan bersikaplah professional. Engkau ada dan diterima, karena mereka ada, pasien kalian… Kalian tak ada apa-apanya jika tanpa mereka. Berhentilah bersikap eksklusif!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar