Dia, Kakakku. Pendiam, pemikir, peduli, cerdas.
Ia diam di saat diam itu adalah emas
Ia bersuara lebih banyak lewat tulisan dan diskusi
Ia pemikir. Mengamati fenomena social yang dialami bangsanya
Menuangkannya lewat tulisan-tulisan yang ditulisnya dalam kesenyapan
Ia peduli. Selalu gelisah dengan tingkah penguasa yang merugikan rakyat
Selalu marah kepada pemiliki modal yang mengeksploitasi bumi bangsanya secara membabi buta
Ia Cerdas. Mengaitkan berbagai masalah yang muncul, menganalisa yang belum sampai ke permukaan, dan menawarkan solusi dari sudut pandang kepemudaannya yang kritis dan memiliki idealisme
Dia, sahabatku.
Mengajariku Bahasa Inggris, berbagai masalah social-politik, pendidikan, dan hal lain di luar bidangku sebagai mahasiswi Farmasi.
Menawarkan berbagai bacaan bermanfaat, mengajakku berdiskusi, mendengar keluhan-keluhanku dari hal yang remeh-temeh sampai yang serupa gunung merapi.
Memberiku semangat untuk selalu bermimpi besar dan tidak ragu bertindak.
Katanya, peluang itu diciptakan. Jangan takut gagal!
Dia, orang tuaku.
Mengajariku bagaimana beretika sebagai seorang perempuan yang lembut
Menyuruhku makan bahkan memarahiku jika menyisakan sebutir nasi di piringku
Apa yang ia katakan? “saat makan, ingatlah bahwa nasi yang kita makan itu tidak jadi dengan sendirinya. Butuh kerja keras dan berpuluh peluh dari para petani. Ingatlah pula, di luar sana ada yang sangat kesulitan untuk mendapat sesuap nasi.”
Yah, Dia, selalu menyampaikan dengan cara yang bijak
Catatan kecil ini tentang Dia.
Kakak, sahabat, dan orang tua dalam satu tubuh
Dia, yang saat ini mengabdikan dirinya untuk anak-anak bangsa di negeri seberang
Dia, yang selalu ada dalam doa
Dia, yang selalu kurindukan suaranya
Catatan kecil ini, tentang Dia…………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar