Jumat, 30 Maret 2012

Buku, Mercusuar Peradaban

Seringkali saya menggerutu mengingat celetukan seorang teman. Kita ini sekolah di sekolah yang sama, guru-gurunya juga sama, mata pelajaran dan jam masuk sekolah pun sama. Setelah lulus, ada yang pintar, ada juga yang tetap gak pintar. Ada yang jadi pegawai bank, ada juga yang kerjaannya ngutang di bank. Ada yang jadi orang kaya dan dermawan, yang jadi maling juga ada. Banyak yang jadi pegawai kantoran, yang jadi pengangguran juga tak kalah banyak.

Ingatan itu kemudian segera disusul dengan ingatan lain. Sebuah pepatah. “Membaca adalah membuka jendela dunia.” Saya tahu! Bahkan sejak SD saya tahu pepatah itu. Semangat membaca inilah yang seringkali hilang dan terkikis, atau bahkan tak pernah ada. Terkalahkan oleh suara merdu gadis manis dalam sinetron, atau infotainment yang menyiarkan perceraian artis-artis cantik yang kini marak, atau kemesraan artis muda yang sedang dilanda asmara.

Bahkan film-film kartun terasa lebih menggoda daripada papan tulis kucel sewaktu saya SD. Sambil mengingat masa kecil, membaca jadi aktivitas yang teramat berat untuk dilakukan. Bisa jadi, membaca hanya jadi obat tidur yang lumayan manjur.

Ah, kalau saja banyak buku yang sempat saya baca, pasti akan saya ceritakan tentang sejarah dunia dan peradabannya. Tak sekadar ocehan saya yang menjemukan. Tentang demokrasi, globalisasi dan lain sebagainya. Atau akan kujelaskan perputaran bumi dengan rumus-rumus matematika yang kuracik dengan teori fisika, bahkan tentang alam semesta yang kupadukan dengan teori-teori kimia.

Saya akan beberkan tentang teori ekonomi baru untuk memberantas kemiskinan, barangkali bisa membuat adik-adik kita merasa nyaman berangkat ke sekolah tanpa harus berpikir besok makan apa. Dan tak perlu risau krisis gobal di Amerika.

Di waktu luang akan saya ciptakan metode baru pengelolaan sampah yang gampang ditiru, sehingga tak perlu lagi negara butuh pemulung yang terus mengais, tak ada lagi saudara kita menjadi korban dan mati tertimbun tumpukan sampah. Akan saya kaji ulang hukum-hukum, bila perlu saya buat yang lebih relevan sehingga tak ada lagi permasalahan hak asasi manusia.

Atau saya ciptakan saja alat pendeteksi bencana, sehingga banjir dan gempa tak perlu lagi menjadi alat Tuhan mengambil nyawa. Atau kusiapkan modul tentang itu semua untuk dapat dilaksanakan bersama dengan negara. Kalaupun negara kita tak mau melaksanakannya, biarlah kumaki sendiri saja setelah selesai mengajari anak-anak belajar membaca.

Itu “kalau saja”. Sekarang, mari menengok ke depan.

“Episto ergo sum, Saya menulis karena saya ada”

Slogan ini saya pilih untuk meneguhkan diri sebagai seorang yang mulai senang menulis. Menulis, bagi saya bukan sekedar bergaya pamer pengetahuan atau menyehatkan pikiran. Menurutku, dengan menulis, kita berderma pengetahuan.

Akumulasi pengetahuan yang ada pada diri kita bertambah awet dan banyak ketika kita membagikannya. Kesenangan menulis mungkin terdorong dari mulai tumbuhnya kegemaran melahap bacaan. Kini, bagi saya, membaca adalah membuka diri untuk memperoleh virus-virus wawasan baru. Untuk terus-menerus mendidik diri sendiri. Saya ingat nasehat John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money From Ideas (2001), ”Leave school early, if you want, but never stop learning.”

Keduanya, menulis dan membaca, adalah hal yang saling melekat satu sama lain. Ia seperti aktivitas metabolisme dalam tubuh. Dengan menulis, saya seperti melakukan aksi donor darah. Darah disedot secukupnya melalui menulis. Kemudian, saat membaca, seolah saya memperoleh darah-darah yang baru untuk mengalir di tubuh ini.

Tulisan yang kita tulis, juga saya ibaratkan sebagai nyala kunang-kunang. Tidak semua orang akan merasa takjub atau mampu memahami sinar yang ia pancarkan. Tapi, bagi orang tertentu, bila terjadi ‘klik’, tulisan itu dapat menjadi cahaya yang bermakna bagi banyak orang.

Apalagi bila cahaya itu memiliki voltase yang tinggi. Misalnya, memiliki relevansi, nilai-nilai moral, bukan slogan, tapi ketukan yang mampu menyapa hati. Agar mampu menulis tulisan yang bervoltase tinggi itu, seringkali, mau tak mau harus merujuk kepada sumber-sumber cahaya tertentu, utamanya buku.

Buku jadi prasyarat utama peradaban menggapai kemajuan dan kejayaan. Dari buku, akan lahir berbagai pemikiran cerdas nan cemerlang yang mampu menyingkap tabir alam semesta ciptaan Tuhan. Buku hadir bukan sekadar ditulis, dijual, dibeli, dan dibaca.

Buku menghadirkan titik-titik pusar hidup yang dapat dijadikan starting point membuka perubahan. Berubah dari kegelapan menuju kecemerlangan. Dari miskin konsep menuju kaya konsep.

Dari sini, dapat dianalisis bahwa kedatangan Muhammad di Jazirah Arab oleh Allah pertama-tama dibekali dengan buku berupa Al-Qur’an, yang perintah pertamanya adalah membaca (Iqra’). Dari Al-Qur’an inilah, Nabi sukses memahat Jazirah Arab sebagai monumen berdirinya negara demokrasi paling bersejarah di dunia.

Begitu hebatnya makna buku dalam menggenggam dunia, maka sebuah keniscayaan bagi kita untuk terus bergelayut dengan buku. Sebagai mercusuar peradaban, buku menjadi agen penting tumbuhnya kesadaran kritis berbangsa. Indonesia sampai kini belum memberikan perhatian penuh terhadap pengembangan buku. Masyarakat Indonesia masih ‘bangga’ dengan ketidakmampuannya membaca.

Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya jumlah orang buta huruf di Indonesia. Kalau di kota besar, kita bisa menjumpai beragam perpustakaan. Tapi di desa? Perpustakaan dan toko buku sangat sulit ditemui. Masyarakat lebih dikejar gaya hidup budaya pop. Laju budaya pop begitu bergemuruh, sedangkan laju buku terhambat, pampat di jalan.

Jika bangsa ini ingin masyarakat desanya menjadi berperadaban, proyek pembuatan perpustakaan mestinya bukan sekadar di wilayah kabupaten, namun sampai di pedesaan. Pemerintah pusat perlu membuat kebijakan agar seluruh pemerintah desa membuat perpustakaan umum warga. Di sanalah nanti akan terjadi transmisi keilmuan yang merata. Nalar kritis akan terbangun.

Tak hanya itu, bagi kaum terpelajar, khususnya intelektual yang telah banyak ‘makan’ buku, seharusnya juga berinisiatif mendirikan rumah baca, minimal bagi tetangganya. Apalagi, kalau si kaum terpelajar langsung terjun memelopori semangat membaca warga. Di situlah akan tercipta masyarakat kritis dan kreatif baru yang dapat mengubah sejarah peradaban dunia.

(Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar