“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar, terimalah, dan hadapilah”
Pergulatan hidup Soe Hok-gie, yang mati muda dalam usia 27 tahun kurang sehari, terangkum dalam satu bait puisi ”Mandalawangi-Pangrango” di atas, yang disuguhkan tepat ketika kita membalik sampul depan buku ini.
Kehadiran buku “Soe Hok-Gie…Sekali Lagi”, tampaknya mulai membuka sisi lain dari Hok-Gie. Sosoknya perlahan mulai terungkap, meskipun tak bisa secara utuh mengurai kompleksitasnya.
Buku ini berisi sejumlah tulisan dari beberapa sahabat dekat, rekan pencinta alam yang tergabung dalam Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia (UI), budayawan, peneliti, sineas, maupun aktor. Dari tulisan-tulisan inilah dapat diketahui mozaik lain dari Hok-Gie.
Penulis pertama buku ini adalah Rudy Badil, salah seorang anggota Mapala UI yang ikut serta dalam pendakian ke Semeru, pada pertengahan Desember 1969. Di bagian awal inilah Rudy menceritakan apa yang dialaminya saat-saat terakhir bersama Hok-Gie.
Saat itu, Kepada Herman O Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo, Maman Abdurrachman, Wiwiek Anton Wijana, Idhan Lubis, dan Freddy Lasut, Hok-gie berkelakar akan merayakan ulang tahunnya ke-27 di puncak Gunung Semeru pada 17 Desember 1969. Namun apa daya, ”yang tanda tanya” (takdir, red.) berkata lain. Gie dan Idhan kecelakaan. Keduanya mengembuskan napas terakhir seusai mendaratkan kaki di puncak Semeru.
Nah, detail cerita ihwal pendakian di Semeru itulah yang menjadi menu utama buku ini. Namun, membuat cerita lengkap tentang peristiwa yang berlalu 40 tahun silam, bukanlah pekerjaan mudah. Tentu sulit merawat sebuah ingatan yang seusia dengan satu generasi itu. Pekerjaan mengumpulkan ingatan, sejatinya merupakan proyek melawan tua tersebut. Inilah yang dilawan Rudy Badil dan kawan-kawannya yang ikut bersama Hok-gie mendaki Gunung Semeru.
Secara umum, Rudy Badil dan kawan-kawan (dkk) berhasil menghadirkan kembali peristiwa itu di hadapan pembaca buku ini, tepat 40 tahun sejak kematian Hok-gie. Pembaca akan menangkap suasana dan drama mencekam episode pendakian ke puncak Semeru, serta proses evakuasi dari gunung dengan ketinggian 3.676 meter itu.
Pun, proses pengiriman jenazah Hok-gie dan Idhan dengan menggunakan pesawat milik AURI (sekarang TNI AU). Acungan jempol bagi penerbit yang mempertahankan gaya bertutur ala Rudy Badil dkk, sehingga pembaca bisa kembali ke suasana masa tahun 1960-an.
Dari sejumlah tulisan lain dalam buku ini, terungkap pula bahwa Hok-gie adalah sosok idealis, yang seakan tak pernah takut kepada siapapun, selama ia yakin dengan sikapnya. Bahkan, ia siap berhadapan dengan penguasa, jika memang dianggapnya mencederai rasa keadilan.
Tak heran jika kritik maupun protes keras acap kali ia sampaikan kepada penguasa, terutama lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Hasilnya, Hok-Gie dianggap orang yang berseberangan dengan penguasa.
Hok-Gie memang sinis dengan ketidakadilan dan kemunafikan. Ia tidak segan melakukan serangan terhadap realitas seperti itu. Untuk soal ini, sikapnya hanya hitam-putih, tak ada wilayah abu-abu. Dalam pandangannya, setiap kekeliruan harus diluruskan, meskipun itu dilakukan seorang pejabat yang memiliki otoritas.
Jakob Oetama, Pemimpin umum harian Kompas, pernah berkata, “Soe Hok-Gie mungkin tidak sekadar nama, tetapi sebuah nama yang telah mengukirkan sosok yang terus gelisah, inspirator yang terus menggugat, atas nama integritas dan kehormatan diri.”
Kekritisan Hok-Gie ternyata bersifat mengakar, hingga menyentuh persoalan agama. Dalam hal ini, Hok-Gie tak bermain mutlak-mutlakan. Ia yang mengaku mengalami “krisis kepercayan”, menolak pendapat dari otoritas pemuka agama, yang menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah satu-satunya agama yang akan mengantarkan manusia ke surga. Bagi Hok-Gie, gagasan ini terlalu berlebihan. Agama, menurutnya, haruslah membawa pembebasan dan bukan menjadi alat masyarakat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Di balik itu semua, ada sisi menarik lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu berikap kritis dan tegas terhadap apa yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-Gie adalah anak muda dengan dinamikanya sendiri. Entah itu dalam pergaulan, komunitas hobi, kampus, sampai perempuan.
Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku ini adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Hok-gie adalah pendobrak, tetapi ia terus-menerus bertemu sepi, kala harus mempertahankan idealismenya…
Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran. Sayangnya dalam buku ini, tidak dimuat sebagian surat pribadi Hok-gie.
Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini layak dibaca siapapun, khususnya bagi kalangan intelektual dan aktivis mahasiswa. Nilai-nilai yang dianut Hok-gie sebagai sosok aktivis dan cendikiawan yang mengedepankan humanisme, moralitas, kejujuran, setiakawan dan integritas yang kukuh, tak mudah dibeli tapi layak ditiru.
Seperti kata Rudy Badil, semangat Hok-gie dan keberaniannya mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakan, sesuai dengan apa yang ditulisnya, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
Akhirnya, memunculkan kembali sosok Soe Hok-gie lewat bunga rampai buku ini, tentu tak bermaksud tuk mengkultusindividukan. Mungkin tepat apa yang ditulis Jakob Oetama, sosok Hok-gie pantas ditampilkan dan jadi teladan, di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa malu dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini.
Andai Hok-gie masih ada, apa kira-kira sikapnya terhadap berbagai praktik korupsi saat ini? Barangkali, ia akan berteriak lantang, ”Siapa salah, harus mempertanggungjawabkannya. Tak ada kompromi di depan hukum dan sejarah. Hanya orang-orang bersih yang akan membawa negeri ini bebas dari korupsi!” Dari Hok-gie, kita semua belajar tentang satu hal yang lamat-lamat ditinggalkan: integritaslah yang membedakan manusia satu dengan yang lain. Selamat Membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar