Jumat, 30 Maret 2012

Sebongkah Kasih di Antartika

Untuk setiap pengorbanan dan cinta yang pernah dan akan terus mengalir bagi kita, pernahkah kita berkata, “Ma, sekarang ananda sudah tahu jalan ke Surga. Sama-sama ke sana yuk! Ajak bapak sama kakak dan adik sekalian.” Pernahkah? Atau kesibukan ini membuat kita melupakan mereka jauh di belakang…

Di lingkaran paling selatan planet ini, Kutub Antartika, di mana suhu bisa mencapai -40oC, Allah mengatur sebuah kehidupan. Sebuah kisah cinta dan pengorbanan. Tak kan rugi bila kamu mau berhenti sejenak dan menyimak…

Sang ibu hanya bertelur satu butir. Telur itu dierami selama musim dingin di kutub. Dan tebaklah, telur semata wayang ini tidak dierami oleh ibunya melainkan sang ayah. Dalam suhu dingin yang mencapai -40oC, pasangan itu harus menghadapi gletser yang terus meluas. Keadaan ini memperpanjang jarak antara tempat pengeraman dengan laut sebagai sumber makanan. Jaraknya bisa mencapai 100 km.

Sementara sang ayah mengerami telurnya, sang ibu kembali ke laut. Selama empat bulan mengerami, sang ayah harus menghadapi badai kutub yang terkadang mencapai kecepatan 100 km/jam. Demi menjaga telurnya, sang ayah tak sempat tuk mencari makan. Sumber makanan terdekat pun hanya bisa dilalui dalam waktu dua hari perjalanan. Sang ayah tidak tega meninggalkan telurnya dalam balutan hawa dingin selama itu. Ia bahkan kehilangan setengah dari bobot badannya selama mengerami. Tetapi ia takkan pernah meninggalkan telurnya. Yang dilakukannya, hanyalah menahan lapar berbulan-bulan, hingga telurnya menetas.

Setelah empat bulan, telur mulai menetas. Sang ibu muncul kembali setelah empat bulan berpisah dengan keluarganya. Selama masa tersebut, sang ibu tidaklah bersenang-senang, meninggalkan sang ayah yang berjuang untuk telurnya. Ia tak menyia-nyiakan waktu, tapi mencari dan menyimpan makanan dalam tubuhnya. Tentu saja untuk keluarganya.

Sang ibu mampu menemukan keluarganya meski mereka berada di anatara ratusan keluarga lain. Karena sang ibu selalu berburu di masa pengeraman, perutnya kini penuh. Ia kemudian mengosongkan perutnya dan mengambil alih tugas menjaga si kecil.

Musim semi tiba, gletser mulai mencair. Lubang bermunculan di antara es, menampakkan laut di bawahnya. Pasangan ayah ibu mulai berburu ikan lewat lubang tersebut dan memberi makan anaknya.

Tapi keadaan tak serta merta menjadi mudah bagi keduanya. Memberi makan sang bayi adalah tugas sulit. Kadang pasangan ayah ibu ini tidak makan dalam jangka waktu lama demi memberi makan anaknya. Sarang tempat berlindung juga tidak mungkin dibuat saat itu karena semuanya masih tertutup salju. Satu-satunya cara untuk melindungi anaknya dari udara dingin adalah meletakkannya di atas kaki mereka dan menghangatkannya dengan perut mereka. Padahal, di saat yang sama, mereka harus berjuang melawan hawa dingin.

Tahukah kamu siapa mereka?

Mereka adalah pinguin, makhluk Allah di dinginnya es Antartika. Mereka lumuri kebekuan es dengan hangatnya cinta untuk anak mereka. Adakah kisah seperti ini di sekitar kita?

Setiap kita pernah seperti ‘anak pinguin’ yang disayangi. Dilindungi dari dinginnya es kehidupan, meski itu berarti pengorbanan bagi kedua orang tua kita. Hingga saat ini, bahkan ketika setiap kita—‘anak pinguin’—sudah merasa mampu menapaki kakinya di daratan es dan melawan sendiri badai salju.

Mengapa pengorbanan sedemikian besarnya mampu dilakukan orang tua? Cinta, tentu saja. Apakah ada selainnya? Cinta orang tua yang katanya sepanjang jalan. Cinta yang demikian mulianya hingga Allah mewajibkan setiap anak untuk membalasnya, meski tak kan pernah terbalas.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya.” (Luqman: 14)

Di atas semua itu, cinta kedua orang tua adalah bentuk kasih sayang yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena Dialah, ArRahman arRahiim… (Al-Firdaus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar