Kepalanya menunduk. Ia menyembunyikan wajahnya di balik ujung jilbab cokelat yang dikenakannya. Ia, seorang perempuan paruh baya. Mungkin berumur 60-an tahun. Ia sepertiku, menunggu keluarga yang sedang dioperasi di rumah sakit ini. Mungkin ia menangis, menumpahkan segala beban yang yang ditahannya sejak sejam yang lalu. Atau mungkin sudah beberapa hari yang lalu.
Sudah sejam lebih aku mengamatinya dari bangku di pojok koridor ruang operasi ini. Sesekali menghampirinya, bertanya, kemudian memberikan sedikit solusi yang entah bermanfaat atau tidak.
Sejam lebih, ia berat mengucapkan barang sepatah kata. Sejam lebih, aku melihat mimiknya seolah menanggung beban yang sangat berat. Tapi, sejam lebih pula, tak setetes air mata pun kudapati di wajahnya.
Aku coba cari tau. Berharap aku tak hanya jadi penonton atas derita orang yang butuh bantuan. Mungkin sejam yang lalu juga, seorang dokter berseragam operasi berbicara dengan suara meninggi kepadanya.
“Mana darahnya Bu?” Kata dokter itu setengah membentak.
“Harusnya semua sudah siap! Ibu ini gimana sih! Pokoknya darah itu harus segera ada.” Tambahnya tanpa memberi kesempatan padanya tuk menjawab.
Tubuh itu gemetar. Dengan terbata, ia berkata, “mungkin masih di perjalanan dari pusat PMI, Dok.”
Dalam rentang sejam lebih itu, aku berhasil memperoleh informasi tentangnya. Ia hanya bersama anak perempuannya di RS ini. Kakaknya sedang dioperasi dan membutuhkan banyak darah. Ia dan anaknya itu mungkin tidak terlalu paham dengan proses administrasi RS yang teramat rumit. Proses operasi pun berjalan dengan penuh hambatan karena masalah tidak adanya stok darah. Sebenarnya, sudah ada keluarga pasien yang mencari darah yang sesuai di pusat PMI. Tapi, sudah sejam lebih belum ada kabar darinya, sementara proses operasi terus berjalan dan semakin banyak darah yang dibutuhkan pasien.
Aku ingin membantu. Tapi apa? Masalah darah bukan hanya masalah bersedia atau tidaknya kita sebagai pendonor, tapi harus melalui proses kecocokan dengan darah pasien. Dan itu, sudah sangat terlambat sekarang!
Dalam situasi membingungkan dan tidak tau harus berbuat apa kayak gini, aku jadi ingat surat cintanya Allah. “dan jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka katakanlah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan doa hamba-hambaKu yang berdoa.”
Gara-Gara Demonstrasi!
Alhamdulillah, Allah masih berkenan mengukir senyum di wajahnya, meski kali ini air matanya tak bisa tertahan lagi. Tumpah ruah!
Beberapa kantung darah akhirnya dibawa oleh seorang remaja laki-laki, lengkap dengan ember yang akan digunakan untuk meletakkan tumor yang berhasil di angkat dari tubuh pasien.
Semua yang sedari tadi menunggu di koridor itu bertanya-tanya, kenapa remaja ini sangat lama di perjalanan. Sampai-sampai dokter marah-marah, keluarga pasien panik, orang lain ikut-ikutan resah.
“Gara-gara macet tadi di jalan. Ada demonstrasi mahasiswa di pintu satu Unhas.” Jawabnya lirih.
Aku tertegun. Ya Allah, hampir saja satu jiwa tak dapat terselamatkan karena demonstrasi. Karena demo? Nda salah tuh?! Yup, meski tidak berkaitan secara langsung, tapi pernahkah si demonstran berpikir sampai hal sedetail ini sebelum melakukan aksi tutup jalan?
Aku tak menyalahkan perilaku demonstrasi ini. Karena aku tahu, ini salah satu cara mengawal kebijakan. Aku hanya berpikir, apakah dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, belum ada cara yang lebih ‘elegan’ untuk mencapai tujuan demonstrasi itu? Jawabannya tentu ada. Tinggal menunggu otak-otak cemerlang si aktivis dan si intelek berkolaborasi. Siapa si aktivis dan intelek itu? Kalian kawan-kawanku! Kita, mahasiswa……….
Koridor Ruang Operasi RSWS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar