Minggu, 01 April 2012

(Bukan) Aksi Biasa


Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) buat mahasiswa berang. Berbagai metode aksi dilancarkan.

“BBM Naik, Rakyat Menderita”. Deret kata ini terpampang tegas pada sebuah lembaran spanduk. Tergenggam erat di tangan para demonstran. Sedikit mewakili aspirasi sang orator yang nampak menggebu, berteriak lantang, “tolak kenaikan harga BBM,” di Pintu Satu Unhas, Selasa (27/3). Aksi ini diikuti beberapa fakultas yang terhimpun di dua titik, Pintu Satu Unhas dan Fly Over Makassar.
Sebelumnya, juga terjadi aksi demonstrasi di tempat yang sama, Rabu (21/3). Namun, aksi ini diwarnai tindakan kriminal. Para demonstran melakukan pengrusakan, pembakaran, hingga penjarahan mobil Coca-Cola dan pengangkut gas. Tak hanya itu, juga melakukan penyerangan kendaraan plat merah dan menjarahnya.
Wakil Rektor III, Nasaruddin Salam, seperti yang dilansir FAJAR (JPNN Group) menegaskan bahwa aksi pengrusakan ini tak semuanya dilakukan mahasiswa Unhas, tapi gabungan dari sejumlah perguruan tinggi di Makassar. “Buktinya, seorang mahasiswa yang akhirnya ditangkap ternyata bukan mahasiswa Unhas,” jelasnya.
Ini diperkuat oleh pernyataan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) beberapa fakultas di Unhas. Menurut mereka, aksi yang diwarnai kekerasan dan penjarahan itu tak pernah dikonsolidasi sebelumnya. Sebagian besar dari mereka pun menyatakan, tak ada mahasiswa Unhas yang ikut aksi itu. “Yang saya tahu, aksi ini tak ada konsolidasinya. Jadi tidak ada mahasiswa Unhas yang ikut. Orang luar yang bertindak seperti itu,” ujar Quddus Rahman, Ketua BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Rabu (28/3).
Berbicara soal aksi yang diwarnai kekerasan ‘irrasional’, Babra Kamal, aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) mengungkapkan, Pintu Satu harusnya jadi poros awal untuk mengumpulkan kekuatan. Istilahnya “titik api”. “Saya tidak sepakat dengan aksi yang merusak seperti itu. Ini kontradiktif, bukannya mendapat simpati rakyat, malah hujatan,” tambahnya, Selasa (27/3).
Aksi berbeda ditempuh Front Graknas-Cipayung Plus di gedung DPRD Propinsi Sulawesi Selatan, Senin (19/3). Front ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi, antara lain PMII, HMI, GMKI, GMNI, IMM.
Iswanto, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang turut dalam aksi ini menuturkan, ada dua metode gerakan yang ditempuh, yakni penyadaran dengan diskusi dan penguatan wacana, serta intervensi langsung kebijakan. “Kita melakukan diskusi, kebetulan waktu itu kami diterima oleh utusan DPRD,” jelasnya.
Metode ini disebutnya sebagai pertimbangan akan situasi dan kondisi di lapangan. Aksi damai, tambah Iswanto, juga memungkinkan di waktu-waktu tertentu untuk mendapat respon positif dari warga. Juga untuk menutup stigmatisasi terhadap gerakan mahasiswa Makassar yang dianggap kasar.
Diskusi dan aksi turun ke jalan adalah dua metode yang sering ditempuh mahasiswa. Sebenarnya, tak ada metode aksi yang baku, tergantung organisasi yang melakukannya. Demonstrasi dilakukan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah. Ini diungkapkan Muhammad Iqbal, Mantan Ketua Senat Fakultas Ekonomi.
Adanya perbedaan metode ini juga diakui Babra. Namun, perbedaan metode ini diharapkannya bertemu pada titik yang sama, menolak kebijakan yang dianggap menderitakan rakyat.
Menurutnya, aksi mahasiswa saat ini sudah sampai pada tahap radikalisasi menuntut. Misalnya dengan mendatangi kantor-kantor pemerintahan secara politis. Tuntutan mahasiswa sudah sampai pada tahap tinggi, dari isu ekonomi merambah ke isu politik, bahkan penggulingan rezim yang berkuasa.
Ia menambahkan, aksi yang diwarnai kerusakan dan penyerangan itu sebaiknya dihindari. Seharusnya ada tahap dalam melakukan pergerakan. Diawali dengan diskusi, lalu mengundang masyarakat untuk diskusi. Jika tidak bisa, datang ke rumah-rumah warga. Ini yang disebut radikalisasi. Menularkan kesadaran ke orang lain.
Berbicara soal radikalisasi gerakan, Babra kembali mengungkit kata yang pernah diucapkan Bung Karno, Presiden Pertama negeri ini. Katanya, untuk melakukan perubahan ada dua cara, masa aksi dan Metchforming. Masa aksi dijelaskan sebagai aktivitas yang dilakukan setiap hari untuk melakukan radikalisasi pemikiran terhadap rakyat. Sedangkan Metchforming adalah tahap penyusunan kekuasaan. Jadi, yang tertindas akan mengambil alih pemerintahan.
Beberapa pandangan terlihat mewarnai gerakan mahasiswa saat ini. Cara ‘irrasional’ hanya akan merugikan aksi yang telah lama diusung. Aksi ini akan dipukul mundur dan akhirnya jadi keuntungan bagi penguasa. Pemerintah akan menjadikannya sebagai legitimasi untuk menghadapi mahasiswa dengan cara serupa, kekerasan. Akibatnya, kekuatan aksi yang masih terpecah akan cepat surut.  
Berbagai bentuk aksi yang ditempuh selama ini hanyalah buah dari sikap abai pemerintah terhadap aspirasi rakyat yang disuarakan mahasiswa. Kekecewaan demi kekecewaan terhadap kebijakan yang diambil pemerintah terus bergulir. Meski kekerasan dianggap ‘perlu’, mahasiswa sebagai kaum intelek harus tetap mempertimbangkan pesan-pesan intelektualitas dalam tiap aksinya. Semangat perjuangan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar