Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) buat
mahasiswa berang. Berbagai metode aksi dilancarkan.
“BBM Naik, Rakyat Menderita”. Deret kata ini terpampang tegas pada
sebuah lembaran spanduk. Tergenggam erat di tangan para demonstran. Sedikit
mewakili aspirasi sang orator yang nampak menggebu, berteriak lantang, “tolak
kenaikan harga BBM,” di Pintu Satu Unhas, Selasa (27/3). Aksi ini diikuti beberapa fakultas yang terhimpun di dua
titik, Pintu Satu Unhas dan Fly Over Makassar.
Sebelumnya, juga terjadi aksi demonstrasi
di tempat yang sama, Rabu (21/3). Namun, aksi ini diwarnai tindakan kriminal.
Para demonstran melakukan pengrusakan, pembakaran, hingga penjarahan mobil
Coca-Cola dan pengangkut gas. Tak hanya itu, juga melakukan penyerangan
kendaraan plat merah dan menjarahnya.
Wakil Rektor III, Nasaruddin Salam,
seperti yang dilansir FAJAR (JPNN Group)
menegaskan bahwa aksi pengrusakan ini tak semuanya dilakukan mahasiswa Unhas,
tapi gabungan dari sejumlah perguruan tinggi di Makassar. “Buktinya, seorang
mahasiswa yang akhirnya ditangkap ternyata bukan mahasiswa Unhas,” jelasnya.
Ini diperkuat oleh pernyataan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
beberapa fakultas di Unhas. Menurut mereka, aksi yang diwarnai kekerasan dan
penjarahan itu tak pernah dikonsolidasi sebelumnya. Sebagian besar dari mereka
pun menyatakan, tak ada mahasiswa Unhas yang ikut aksi itu. “Yang saya tahu,
aksi ini tak ada konsolidasinya. Jadi tidak ada mahasiswa Unhas yang ikut.
Orang luar yang bertindak seperti itu,” ujar Quddus Rahman, Ketua BEM Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM), Rabu (28/3).
Berbicara soal aksi yang diwarnai kekerasan ‘irrasional’, Babra Kamal, aktivis Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) mengungkapkan,
Pintu Satu harusnya jadi poros awal untuk mengumpulkan kekuatan. Istilahnya “titik
api”. “Saya tidak sepakat dengan aksi yang merusak seperti itu. Ini
kontradiktif, bukannya mendapat simpati rakyat, malah hujatan,” tambahnya,
Selasa (27/3).
Aksi berbeda ditempuh Front Graknas-Cipayung Plus di gedung DPRD
Propinsi Sulawesi Selatan, Senin (19/3).
Front ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi, antara
lain PMII, HMI, GMKI, GMNI, IMM.
Iswanto, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang turut dalam aksi ini
menuturkan, ada dua metode gerakan yang ditempuh, yakni penyadaran dengan
diskusi dan penguatan wacana, serta intervensi langsung kebijakan. “Kita
melakukan diskusi, kebetulan waktu itu kami diterima oleh utusan DPRD,”
jelasnya.
Metode ini disebutnya sebagai pertimbangan akan situasi dan kondisi di
lapangan. Aksi damai, tambah Iswanto, juga memungkinkan di waktu-waktu tertentu
untuk mendapat respon positif dari warga. Juga untuk menutup stigmatisasi
terhadap gerakan mahasiswa Makassar yang dianggap kasar.
Diskusi dan aksi turun ke jalan adalah dua metode yang sering ditempuh
mahasiswa. Sebenarnya, tak ada metode aksi yang baku, tergantung organisasi
yang melakukannya. Demonstrasi dilakukan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap
pemerintah. Ini diungkapkan Muhammad Iqbal, Mantan Ketua Senat Fakultas
Ekonomi.
Adanya perbedaan metode ini juga diakui Babra. Namun, perbedaan metode ini
diharapkannya bertemu pada titik yang sama, menolak kebijakan yang dianggap
menderitakan rakyat.
Menurutnya, aksi mahasiswa saat ini sudah sampai pada tahap radikalisasi
menuntut. Misalnya dengan mendatangi kantor-kantor pemerintahan secara politis.
Tuntutan mahasiswa sudah sampai pada tahap tinggi, dari isu ekonomi merambah ke
isu politik, bahkan penggulingan rezim yang berkuasa.
Ia menambahkan, aksi yang diwarnai kerusakan dan penyerangan itu
sebaiknya dihindari. Seharusnya ada
tahap dalam melakukan pergerakan. Diawali dengan
diskusi, lalu mengundang masyarakat untuk diskusi. Jika tidak
bisa, datang ke rumah-rumah warga. Ini yang disebut radikalisasi.
Menularkan kesadaran ke orang lain.
Berbicara soal radikalisasi gerakan, Babra kembali mengungkit kata yang
pernah diucapkan Bung Karno, Presiden Pertama negeri ini. Katanya, untuk
melakukan perubahan ada dua cara, masa aksi dan Metchforming. Masa aksi dijelaskan sebagai
aktivitas yang dilakukan setiap hari untuk melakukan radikalisasi
pemikiran terhadap rakyat. Sedangkan Metchforming
adalah tahap penyusunan kekuasaan.
Jadi, yang
tertindas akan mengambil alih pemerintahan.
Beberapa pandangan terlihat mewarnai gerakan mahasiswa saat ini. Cara ‘irrasional’ hanya akan merugikan aksi
yang telah lama diusung. Aksi ini akan dipukul mundur dan akhirnya jadi
keuntungan bagi penguasa. Pemerintah akan menjadikannya sebagai legitimasi
untuk menghadapi mahasiswa dengan cara serupa, kekerasan. Akibatnya, kekuatan
aksi yang masih terpecah akan cepat surut.
Berbagai bentuk aksi yang ditempuh selama ini hanyalah
buah dari sikap abai pemerintah terhadap aspirasi rakyat yang disuarakan
mahasiswa. Kekecewaan demi kekecewaan terhadap kebijakan yang diambil
pemerintah terus bergulir. Meski kekerasan dianggap ‘perlu’, mahasiswa sebagai
kaum intelek harus tetap mempertimbangkan pesan-pesan intelektualitas dalam
tiap aksinya. Semangat perjuangan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar