Jumat, 30 Maret 2012

Engkau yang Pernah Mengucap Sumpah

Tak ada jingga di senja hari ini. Hanya rinai hujan yang menemani langkahku sore tadi. Menyusuri jalan setapak, melintasi Fakultas Teknik dengan sejumlah pemuda yang terlihat asyik memperebutkan sebuah bola di lapangan. Yah, tak ada yang istimewa. Rutinitas sore yang selalu datar-datar saja.

Aku tiba di kosan beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang. Masih seperti biasanya—yang datar-datar saja—aku menampakkan raut wajah lelah ke teman-teman yang sedang asyik bercengkrama di beranda kos. Sedikit mengulum senyum, lalu beranjak ke kamar tanpa mengucap kata sepatah pun.

Namun, kali ini ada yang tak seperti biasanya. Obrolan dua orang teman di beranda nampak sedikit serius sore tadi. Yang satunya terdengar selalu memilih intonasi tinggi. Sedang yang satunya menimpali dengan suara agak merendah.

Obrolan mereka lamat-lamat terdengar. Aku mendengar kata “rumah sakit, pasien, dan dokter”. Karena kunci kamar belum juga kutemukan, aku memutuskan kembali ke beranda dan mendengar lebih utuh, apa yang tengah mereka persoalkan. Pikirku, tiga kata itu tak jauh-jauh dari profesiku sebagai seorang yang selalu berkutat dengan teori pengobatan.

“Dokter itu tak punya nurani ya?! Pasien sudah kesakitan malah dicuekin. Nanti setelah pasiennya pingsan, baru mereka bertindak. Ke mana sumpah mereka dulu?” kata itu yang kutangkap pertama kali saat membaur bersama mereka. Aku mengernyitkan kening, lalu melontarkan sebuah tanya, “kenapa kak? Ada apa dengan dokter?”

Orang yang kupanggil dengan sebutan Kak itu lalu mengulang kisahnya. Beberapa hari yang lalu, katanya, saat ia mengantar seorang rekan ke sebuah rumah sakit milik pemerintah, hal tak mengenakkan hati membuatnya sedikit memberontak dan mempertanyakan esensi sumpah seorang dokter.

Waktu itu ia melihat seorang ibu yang terlihat sangat tersiksa menahan sakit di perutnya. Herannya, tak ada satu orang dari pihak rumah sakit pun yang memedulikannya. Parahnya lagi, ia melihat beberapa orang dokter hanya berbincang sambil tertawa-tawa di sebuah ruangan yang tak jauh dari ibu yang kesakitan itu. Tak lama berselang, si ibu pingsan. Karena muak melihat tingkah para dokter dan jajarannya ini, ia berteriak ke arah dokter, “Eh, saya kira kalian pernah bersumpah. Lalu, ke mana sumpah itu sekarang? Kenapa kalian membiarkan pasien ini kesakitan hingga pingsan?”

Intonasinya meninggi saat mengucap kata terakhir. Aku mulai paham apa yang membuatnya geram. Teman yang satunya turut menimpali dengan menceritakan pengalaman yang tak jauh berbeda. Yah, semuanya tentang “buruknya pelayanan di rumah sakit.”

Aku tak berkomentar sedikitpun. Hanya hatiku yang bergetar, disusul memori-memori kekecewaan terhadap pelayanan di rumah sakit.

Memori itu rasanya semakin lekat saat aku memasuki kamar dan berbincang dengan hati. Kalau berbicara soal “tak becusnya para pekerja di bidang kesehatan”, aku pun memiliki banyak kisah.

Pernah suatu hari di tahun pertama aku berstatus mahasiswa, aku dibentak seorang dokter saat membawa teman ke rumah sakit karena kecelakaan. Waktu itu aku sendirian. Tak terbayang bagaimana paniknya yang kurasa saat itu. Tak pernah sebelumnya aku membawa seseorang ke rumah sakit. Apalagi karena kecelakaan, yang membutuhkan pertolongan dengan cepat. Batinku berontak saat itu. Satu jam berselang, tak ada dokter atau perawat atau pegawai manapun yang peduli dengan kami. Aku lalu bergumam dalam hati, “apa harus urus administrasi dulu ya, baru dilayani?”

Seingatku, dulu aku hanya disuruh nunggu. Karena menurutku nunggunya sudah kelamaan, aku mulai protes (ala mahasiswa baru yang mulai ditanamkan idealisme di pengkaderan, hehe). Kulihat, beberapa orang yang memakai papan nama bertuliskan “Dokter Muda” berkerumun mengelilingi temanku. Berbincang sebentar, menyebut beberapa istilah yang sedikit banyak kupahami. Heranku, mereka hanya berkerumun, melihat sebentar, kemudian pergi. Tak melakukan apa-apa. Gumamku, ah, mereka ini baru mau belajar ya?

Aku kemudian mendatangi seorang dokter yang terlihat lebih senior. Memprotes, kenapa belum ada tindakan sama sekali untuk mengurangi rasa sakit yang sedari tadi ditahan oleh temanku. Tanpa berpikir panjang, aku melontarkan sebuah kalimat yang membuat dokter itu naik pitam. “Dok, sekarang bukan waktunya belajar dan mengajar. Sekarang itu waktunya aplikasi, praktik! Bagaimana jika pasien Anda meninggal sebelum Anda paham dengan apa yang Anda pelajari itu?”

Ia menatap saya, tajam! Lalu berkata, “ah, kamu ini anak kecil tau apa?” Aku tak membalas perkataannya. Hanya memasang wajah manyun, tanda tak senang dengan pelayanan di RS ini. Aku membatin, katanya ini RS terkenal di Makassar. Apa bagusnya ya? Lagipula, dokter itu nda tau ya, aku tau apa yang mereka perbincangkan tadi. Aku tau istilah-istilah yang mereka sebutkan tadi, aku ini kan belajarnya di Farmasi… (hehe… tertawa sendiri kalau ingat masa itu)

Kawan, itu hanya sekelumit kisah tentang betapa belum profesionalnya para pelayan kesehatan sekarang. Itu baru satu bidang, belum bicara bidang lain, Farmasi atau apoteker misalnya. Yang selama ini kujumpai, belum ada pelayanan informasi obat dari apoteker-apoteker yang bertugas di RS. Apotek, akhirnya hanya jadi semacam ‘warung’. Bedanya, isinya hanya obat. Apoteker pun tak lebih dari sekadar ‘penjaga warung’. Duduk di belakang meja, menunggu keluarga pasien datang membawa resep, kemudian memberikan obat sesuai dengan daftar obat yang ada di resep itu. Tak pernah sekalipun aku menemui atau mendengar cerita, bahwa mereka memberikan pelayanan informasi obat. Tentang obat apa yang sebenarnya bisa diganti dengan yang lebih murah, namun berkhasiat sama (jika pasiennya tergolong berpenghasilan rendah). Tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan obat itu, dan hal urgent lainnya.

Mungkin, para dokter dan apoteker akan geram jika membaca tulisan ini. Tapi, seperti itulah yang terjadi Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyoya… Aku tahu, kita diajarkan etika profesi di bangku kuliah. Bahkan, aku pernah mengambil sebuah matakuliah dan praktikum simulasi aktivitas di apotek. Kesimpulanku dari praktikum itu, sangat idealis dan sangat beretika. Kita diajarkan bagaimana mendahulukan kepentingan pasien dan memberikan hak-haknya. Bagaimana berdiskusi dan konfirmasi dengan dokter jika ada peresepan yang dianggap keliru atau dapat diganti. Yah, teori hanyalah teori. Hingga detik ini, tak lebih dari dua RS di Indonesia yang kuketahui menerapkan informasi pelayanan obat ini. Wallahu a’lam…

Maka, seperti itulah mungkin, jika dalam pembelajaran kita terlalu ditekankan pada sisi ilmiahnya saja, tanpa menyentuh human-nya. Aku melihat dan membaca, betapa bangganya mereka yang telah di”sumpah” sebagai seorang dokter atau apoteker atau ners, dsb. Tapi, tahukah mereka, sumpah itu didengar oleh Dia Yang Maha Mendengar. Diketahui oleh Dia yang Maha Tahu. Dicatat oleh Dia yang Maha Teliti. Dan kelak, akan dimintai pertanggungjawabannya. Sadarkah mereka, pasien dan keluarga pasien menganggap mereka seolah Sang Dewa Penyelamat. Adakah sedikit kepekaan dari mereka, bahwa sekilas senyum tulus dan kata-kata bijak yang mereka ucapkan, jika disertai keramahan bisa jadi obat yang mengalahkan khasiat obat-obat sintetik yang bertebaran di apotek.
Engkau, yang telah mengucap sumpah itu… Pekalah dan bersikaplah professional. Engkau ada dan diterima, karena mereka ada, pasien kalian… Kalian tak ada apa-apanya jika tanpa mereka. Berhentilah bersikap eksklusif!

Sepotong Kisah dari Mahasiswa Makassar

Lembaga mahasiswa tak melulu soal diskusi dan pengaderan. Ada sisi lain yang melibatkan nurani. Juga tentang pengabdian.

Tetes demi tetes peluh tak kunjung dihiraukan. Sesekali mereka seka. Sejumlah 1200 masker dan leaflet mereka bagi kepada para pengendara yang melintas di sekitaran Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Pintu Satu dan Pintu Dua Unhas, Selasa (22/2). Mereka, mahasiswa Jurusan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) FKM yang tergabung dalam Himpunan Occupational Health and Safety Society.

Berbekal dana hasil jualan stiker dan kue, serta inisiatif kerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, mereka menunjukkan kepedulian terhadap kesehatan para pengendara. “Pengendara bermotor banyak terpapas emisi gas berbahaya yang dapat merusak kesehatan,” papar Hasyrul Almani, ketua K3.

Karenanya, dalam rangka memperingati Bulan K3 Nasional pada Januari hingga Februari, Hasyrul beserta 59 rekannya berharap dapat meningkatkan kesadaran para pengendara akan pentingnya penggunaan masker tuk meminimalisir resiko terjadinya emisi gas di jalan raya, melalui aksi sosial ini.

Apresiasi terhadap kegiatan ini datang dari Wakil Dekan III FKM, Aminuddin Syam SKM MKes. Menurutnya, mahasiswa memang harus memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Bentuk apresiasi yang dimaksud berupa tidak adanya pelarangan terhadap aksi ini. Tentang bantuan dana, ia berkata, “saya yakin mahasiswa punya kreatifitas untuk mendapatkan bantuan.”

Potongan kisah lain diukir Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran (FK), 25 Februari lalu. Tepat di Hari Gizi Nasional (HGN), mereka mengadakan pembagian susu dan penyuluhan pola hidup bersih dan sehat di SD Inpres Bawakaraeng, bersama rekan mereka di FK Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Universitas Muhammadiyah (Unismuh).

Nah, sekarang kita tengok ke Fakultas yang khas dengan gambar tengkoraknya. Siapa bilang mahasiswa Fakultas Teknik (FT) kerjanya hanya tawuran? Rabu (29/2), Senat Mahasiswa FT tampil dengan uluran tangannya untuk masyarakat Kabupaten Sidrap yang jadi korban bencana alam berupa angin puting beliung.

Konser amal pun jadi ide kreatif tuk menggalang dana. Konser amal ini digelar di Lapangan Merah FT demi memenuhi pundi-pundi yang nantinya digunakan untuk membeli sembako, obat-obatan dan pakaian layak pakai. Aksi ini, menurut Terry Al Ghifari, bertujuan menumbuhkan nilai-nilai kepedulian bagi para anggota senat mahasiswa.

Itu hanya sepotong kisah tentang kegiatan lembaga mahasiswa yang tak hanya berkutat pada hiruk-pikuk kampus. Potongan-potongan lain juga ditorehkan lembaga mahasiswa di berbagai fakultas. Itikad baik ini disambut dengan tangan terbuka oleh para Wakil Dekan III. Meski, hal-hal yang berbau prosedural tetap diutamakan.

Seperti yang dituturkan Wakil Dekan III Fakultas Sastra, Prof Dr Noer Jihad Saleh MA. Menurutnya, sudah menjadi aturan bahwa semua kegiatan kemahasiswaan harus memiliki proposal dan harus dievaluasi dulu. “Kita tidak melarang mereka jika mau melakukan kegiatan sosial begitu,” jelasnya, Kamis (01/3). “Namun, jika kegiatannya insidentil, bantuan itu tidak diberikan dalam bentuk pendanaan,” tambahnya. Masih menurutnya, harus ada alasan yang jelas dan proposal hingga nantinya dapat diberikan pertanggung jawaban.

Dukungan serupa juga diungkapkan WD III Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Drs Muhammad Zakir Msi. “Selama tidak bertentangan dengan ketertiban kampus dan akademik pasti kita bantu,” ungkapnya. Salah satunya, tambah Zakir, dengan turut membeli kue yang dijajakan mahasiswa sebagai bentuk penggalangan dana.

Jika ada yang menyangsikan bentuk kepedulian mahasiswa, nih bentuknya! Bagi mereka yang mengatakan “mahasiswa Makassar hanya bisa berdemo dan tawuran”, maka kami, mahasiswa Makassar, dengan lantang berkata, “Ini aksiku, mana aksimu?”

Khadijah, The True Love Story of Muhammad

“… Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada khadijah. Ia yang beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta pada saat semua orang enggan memberi. Dan darinya, aku memperoleh keturunan, sesuatu yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain.” (Hadis Riwayat Ahmad)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad, penutup sekalian rasul, pribadi yang tentangnya Allah berfirman,

“Wahai Nabi! Sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (al-Ahzab (33) : 45-47)

Siapa yang tak kenal Khadijah? Ya, dialah Khadijah binti Khuwailid ibnu Asad ibnu Abdil Uzza ibnu Qushay. Istri pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerima salam dari Allah dan Jibril.

Kisah Khadijah, Ummul Mu’minin, selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Betapa tidak? Ia adalah istri Rasulullah yang menjadi rekan pada saat-saat paling sulit dalam hidup beliau, istri yang selalu menawarkan cinta dan kasih sayang dalam kondisi apapun.

Saya, seorang perempuan akhir zaman, merasa perlu untuk membuat sebuah tulisan yang menggambarkan keistimewaan-keistimewaan Khadijah, yang semoga dapat menjadi teladan bagi kita-kaum perempuan-yang hidup di tengah maraknya eksploitasi perempuan. Keinginan ini muncul setelah membaca sebuah buku berjudul “Khadijah, The True Love Story of Muhammad”. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada orang yang dengan tulus menghadiahkan buku tersebut kepada saya, 03 Juli 2010 silam.

Hal pertama yang perlu kita tegaskan di sini, bahwa Khadijah mendapat pemeliharaan dan bimbingan langsung dari Allah di sepanjang hidupnya. Allah yang menjaganya dari segala cela, sehingga penduduk Mekah menjulukinya dengan “Thahirah (wanita suci)”.

Jika ada wanita yang langsung menerima salam dari Allah, maka Khadijahlah orangnya. Suatu hari, malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan berkata , “Wahai Muhammad, sebentar lagi Khadijah akan membawakan makanan dan minuman untukmu. Kalau ia datang, sampaikan kepadanya salam dari Allah dan dariku.”

Cara Khadijah menjawab salam itu pun menunjukkan keluasan pandangan dan kedalaman perasaannya. Jawabannya mengandung pengagungan terhadap Allah, doa agar Allah menganugerahkan kepadanya kedamaian dan keselematan serta salam untuk Jibril yang telah menyampaikan kepadanya salam dari Allah. Khadijah berkata, “Allahlah pemelihara kedamaian dan sumber segala damai. Salamku untuk Jibril.”

Khadijah merupakan istri dan sahabat ideal yang selalu setia mendampingi serta menghibur Rasulullah dalam setiap kesulitan. Karena itulah Allah berkenan memberinya kabar gembira tentang sebuah rumah terbuat dari permata yang dibangun untuknya di surga. Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memberikan kabar gembira kepada khadijah bahwa akan dibangun untuknya di surga sebuah rumah dari permata; tak ada hiruk pikuk dan rasa lelah di sana.”

Aisyah pernah merasa sangat cemburu. Ia bercerita, “Aku tidak pernah merasa cemburu kepada seorang wanita sebesar rasa cemburuku pada kepada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya. Tetapi Rasulullah selalu menyebut dan mengingatnya. Ketika menyembelih seekor kambing, beliau selalu memotong sebagian dagingnya dan menghadiahkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah.”

Dalam sebuah riwayat lain, Aisyah juga mengisahkan, “Rasulullah hampir tidak pernah keluar rumah tanpa menyebut dan memuji Khadijah. Hal itu membuatku cemburu. Kukatakan, ‘Bukankah ia hanya seorang wanita tua renta dan engkau telah diberi pengganti yang lebih baik daripadanya?’ Mendengar itu, beliau murka hingga bergetar bagian depan rambutnya. Beliau katakana, ‘Tidak. Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada khadijah. Ia yang beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta pada saat semua orang enggan memberi. Dan darinya, aku memperoleh keturunan, sesuatu yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain.’ Maka aku berjanji dalam hati untuk tidak mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya lagi.

Rasulullah sendiri sangat menghormati Khadijah. Jasanya bagi penyebaran Islam sungguh tidak terkira. Di depan para sahabatnya, Rasulullah sering menyebut khadijah sebagai wanita yang paling utama di muka bumi. Ali Ibnu Abi Thalib pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik wanita dunia adala Maryam binti Imran. Sebaik-baik wanita dunia adalah Khadijah.”

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah bersabda, “Wanita-wanita terbaik sepanjang sejarah adalah Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, dan Asiyah, istri Fir’aun.”

Salah satu contoh gamblang yang menunjukkan betapa berarti Khadijah di hati Rasulullah adalah sebuah peristiwa yang terjadi di tahun 8 Hijriah, 11 tahun setelah wafatnya Khadijah. Pada hari pembebasan Mekah (fath Makkah), Rasulullah menunjuk Zubair ibnu Awwam untuk memimpin sekelompok pasukan Muhajirin dan anshar. Beliau menyerahkan panji pasukan dan memerintahkan Zubair untuk menancapkannya di Hujun, sebuah dataran tinggi di Mekah. Beliau berpesan, “jangan tinggalkan tempat engkau tancapkan panji itu hingga aku mendatangimu.”

Sesampainya di Hujun, Abbas ibnu Abdil Muththalib berkata kepada Zubair, “Wahai Zubair, di sinilah Rasulullah memerintahkanmu untuk memancangkan panji pasukan.”

Di Hujun itulah terletak makam Khadijah. Dan tempat itu yang dipilih sebagai pusat komando dan pengawasan pasukan Islam pada perang pembebasan Mekah. Dari sana pula beliau memasuki Kota Mekah, pada hari ketika kaum muslimin berhasil mengalahkan kaum kafir Quraisy, ketika orang-orang memeluk Islam secara berbondong-bondong, ketika agama tauhid menghancurkan kemusyrikan. Pada hari yang bersejarah itu, Ka’bah dan Masjidil Haram dibersihkan darri berhala-berhala. Saat itu pula Rasulullah membacakan ayat,

“Dan katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.” (al-Isra’ (17) : 81)

Sebongkah Kasih di Antartika

Untuk setiap pengorbanan dan cinta yang pernah dan akan terus mengalir bagi kita, pernahkah kita berkata, “Ma, sekarang ananda sudah tahu jalan ke Surga. Sama-sama ke sana yuk! Ajak bapak sama kakak dan adik sekalian.” Pernahkah? Atau kesibukan ini membuat kita melupakan mereka jauh di belakang…

Di lingkaran paling selatan planet ini, Kutub Antartika, di mana suhu bisa mencapai -40oC, Allah mengatur sebuah kehidupan. Sebuah kisah cinta dan pengorbanan. Tak kan rugi bila kamu mau berhenti sejenak dan menyimak…

Sang ibu hanya bertelur satu butir. Telur itu dierami selama musim dingin di kutub. Dan tebaklah, telur semata wayang ini tidak dierami oleh ibunya melainkan sang ayah. Dalam suhu dingin yang mencapai -40oC, pasangan itu harus menghadapi gletser yang terus meluas. Keadaan ini memperpanjang jarak antara tempat pengeraman dengan laut sebagai sumber makanan. Jaraknya bisa mencapai 100 km.

Sementara sang ayah mengerami telurnya, sang ibu kembali ke laut. Selama empat bulan mengerami, sang ayah harus menghadapi badai kutub yang terkadang mencapai kecepatan 100 km/jam. Demi menjaga telurnya, sang ayah tak sempat tuk mencari makan. Sumber makanan terdekat pun hanya bisa dilalui dalam waktu dua hari perjalanan. Sang ayah tidak tega meninggalkan telurnya dalam balutan hawa dingin selama itu. Ia bahkan kehilangan setengah dari bobot badannya selama mengerami. Tetapi ia takkan pernah meninggalkan telurnya. Yang dilakukannya, hanyalah menahan lapar berbulan-bulan, hingga telurnya menetas.

Setelah empat bulan, telur mulai menetas. Sang ibu muncul kembali setelah empat bulan berpisah dengan keluarganya. Selama masa tersebut, sang ibu tidaklah bersenang-senang, meninggalkan sang ayah yang berjuang untuk telurnya. Ia tak menyia-nyiakan waktu, tapi mencari dan menyimpan makanan dalam tubuhnya. Tentu saja untuk keluarganya.

Sang ibu mampu menemukan keluarganya meski mereka berada di anatara ratusan keluarga lain. Karena sang ibu selalu berburu di masa pengeraman, perutnya kini penuh. Ia kemudian mengosongkan perutnya dan mengambil alih tugas menjaga si kecil.

Musim semi tiba, gletser mulai mencair. Lubang bermunculan di antara es, menampakkan laut di bawahnya. Pasangan ayah ibu mulai berburu ikan lewat lubang tersebut dan memberi makan anaknya.

Tapi keadaan tak serta merta menjadi mudah bagi keduanya. Memberi makan sang bayi adalah tugas sulit. Kadang pasangan ayah ibu ini tidak makan dalam jangka waktu lama demi memberi makan anaknya. Sarang tempat berlindung juga tidak mungkin dibuat saat itu karena semuanya masih tertutup salju. Satu-satunya cara untuk melindungi anaknya dari udara dingin adalah meletakkannya di atas kaki mereka dan menghangatkannya dengan perut mereka. Padahal, di saat yang sama, mereka harus berjuang melawan hawa dingin.

Tahukah kamu siapa mereka?

Mereka adalah pinguin, makhluk Allah di dinginnya es Antartika. Mereka lumuri kebekuan es dengan hangatnya cinta untuk anak mereka. Adakah kisah seperti ini di sekitar kita?

Setiap kita pernah seperti ‘anak pinguin’ yang disayangi. Dilindungi dari dinginnya es kehidupan, meski itu berarti pengorbanan bagi kedua orang tua kita. Hingga saat ini, bahkan ketika setiap kita—‘anak pinguin’—sudah merasa mampu menapaki kakinya di daratan es dan melawan sendiri badai salju.

Mengapa pengorbanan sedemikian besarnya mampu dilakukan orang tua? Cinta, tentu saja. Apakah ada selainnya? Cinta orang tua yang katanya sepanjang jalan. Cinta yang demikian mulianya hingga Allah mewajibkan setiap anak untuk membalasnya, meski tak kan pernah terbalas.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya.” (Luqman: 14)

Di atas semua itu, cinta kedua orang tua adalah bentuk kasih sayang yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena Dialah, ArRahman arRahiim… (Al-Firdaus)

Sejam Lebih

Kepalanya menunduk. Ia menyembunyikan wajahnya di balik ujung jilbab cokelat yang dikenakannya. Ia, seorang perempuan paruh baya. Mungkin berumur 60-an tahun. Ia sepertiku, menunggu keluarga yang sedang dioperasi di rumah sakit ini. Mungkin ia menangis, menumpahkan segala beban yang yang ditahannya sejak sejam yang lalu. Atau mungkin sudah beberapa hari yang lalu.

Sudah sejam lebih aku mengamatinya dari bangku di pojok koridor ruang operasi ini. Sesekali menghampirinya, bertanya, kemudian memberikan sedikit solusi yang entah bermanfaat atau tidak.

Sejam lebih, ia berat mengucapkan barang sepatah kata. Sejam lebih, aku melihat mimiknya seolah menanggung beban yang sangat berat. Tapi, sejam lebih pula, tak setetes air mata pun kudapati di wajahnya.

Aku coba cari tau. Berharap aku tak hanya jadi penonton atas derita orang yang butuh bantuan. Mungkin sejam yang lalu juga, seorang dokter berseragam operasi berbicara dengan suara meninggi kepadanya.

“Mana darahnya Bu?” Kata dokter itu setengah membentak.

“Harusnya semua sudah siap! Ibu ini gimana sih! Pokoknya darah itu harus segera ada.” Tambahnya tanpa memberi kesempatan padanya tuk menjawab.

Tubuh itu gemetar. Dengan terbata, ia berkata, “mungkin masih di perjalanan dari pusat PMI, Dok.”

Dalam rentang sejam lebih itu, aku berhasil memperoleh informasi tentangnya. Ia hanya bersama anak perempuannya di RS ini. Kakaknya sedang dioperasi dan membutuhkan banyak darah. Ia dan anaknya itu mungkin tidak terlalu paham dengan proses administrasi RS yang teramat rumit. Proses operasi pun berjalan dengan penuh hambatan karena masalah tidak adanya stok darah. Sebenarnya, sudah ada keluarga pasien yang mencari darah yang sesuai di pusat PMI. Tapi, sudah sejam lebih belum ada kabar darinya, sementara proses operasi terus berjalan dan semakin banyak darah yang dibutuhkan pasien.

Aku ingin membantu. Tapi apa? Masalah darah bukan hanya masalah bersedia atau tidaknya kita sebagai pendonor, tapi harus melalui proses kecocokan dengan darah pasien. Dan itu, sudah sangat terlambat sekarang!

Dalam situasi membingungkan dan tidak tau harus berbuat apa kayak gini, aku jadi ingat surat cintanya Allah. “dan jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka katakanlah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan doa hamba-hambaKu yang berdoa.”

Gara-Gara Demonstrasi!

Alhamdulillah, Allah masih berkenan mengukir senyum di wajahnya, meski kali ini air matanya tak bisa tertahan lagi. Tumpah ruah!

Beberapa kantung darah akhirnya dibawa oleh seorang remaja laki-laki, lengkap dengan ember yang akan digunakan untuk meletakkan tumor yang berhasil di angkat dari tubuh pasien.

Semua yang sedari tadi menunggu di koridor itu bertanya-tanya, kenapa remaja ini sangat lama di perjalanan. Sampai-sampai dokter marah-marah, keluarga pasien panik, orang lain ikut-ikutan resah.

“Gara-gara macet tadi di jalan. Ada demonstrasi mahasiswa di pintu satu Unhas.” Jawabnya lirih.

Aku tertegun. Ya Allah, hampir saja satu jiwa tak dapat terselamatkan karena demonstrasi. Karena demo? Nda salah tuh?! Yup, meski tidak berkaitan secara langsung, tapi pernahkah si demonstran berpikir sampai hal sedetail ini sebelum melakukan aksi tutup jalan?

Aku tak menyalahkan perilaku demonstrasi ini. Karena aku tahu, ini salah satu cara mengawal kebijakan. Aku hanya berpikir, apakah dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, belum ada cara yang lebih ‘elegan’ untuk mencapai tujuan demonstrasi itu? Jawabannya tentu ada. Tinggal menunggu otak-otak cemerlang si aktivis dan si intelek berkolaborasi. Siapa si aktivis dan intelek itu? Kalian kawan-kawanku! Kita, mahasiswa……….

Koridor Ruang Operasi RSWS

Uhibbukum Fillah (Aku Mencintai Kalian karena Allah)

Waktu itu hari Jumat. Setelah lelah berurusan dengan bagian akademik fakultas, aku menuju musholla. Hari mulai beranjak siang. Kurebahkan badan, berniat tuk istirahat sejenak. Meski waktu itu musholla sangat ramai dan menjadi sesak oleh banyaknya mahasiswi yang sedang tarbiyah ataupun tartil.

Entah berapa menit aku terlelap, tak terasa telah meninggalkan alam nyata. Hingga sayup kudengar suara seorang akhwat membangunkanku.

“Dik, ikut kamat yuk…” Katanya mengajakku.

Aku terkesiap. Dengan kepala yang rasanya masih puyeng, aku menatap sekeliling. Kulihat sudah terbentuk lingkaran besar di musholla itu. Oh ya, aku baru ingat, tiap Jumat, saat para mahasiswa laki-laki menunaikan kewajiban mereka, sholat jumat, biasanya para mahasiswi di kampusku mengadakan Kajian Jumat (Kamat). Di majelis ini, biasanya dibahas tentang satu tema keislaman. Seingatku, waktu itu tema umumnya tentang ‘Cinta’. yah, tentunya cinta yang masih dalam koridor keislaman.

Aku selalu merasa senang mengikuti kajian-kajian seperti ini. Rasanya senang saja berkumpul dengan para akhwat itu. Merapatkan majelis, mendengar nasihat-nasihat yang menyejukkan hati. Ah, mempelajari dien ini rasanya selalu istimewa…^^

Salah satu point yang kudapat dari kajian itu adalah pentingnya ngungkapin cinta. Tapi, tunggu dulu… Nih cinta yang seperti apa maksudnya? hemm….

Kurang lebih seperti ini kisahnya,

“Suatu hari di zaman Rasulullah, salah seorang muslim Anshar lewat di hadapan Rasulullah yang waktu itu sedang bersama sahabat. Si sahabat berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang yang baru saja berlalu itu,” ungkapnya pada Rasul.

Rasul kemudian berkata, “Sampaikanlah rasa cintamu itu kepadanya.”

Akhwat yang jadi pemateri saat itu kemudian melanjutkan…….

Ukhtifillah, sampaikanlah rasa cinta kita kepada saudari-saudari kita. Cinta tak cukup ditunjukkan hanya dengan tindakan, tapi butuh ungkapan untuk membuatnya lebih indah. Katakanlah, “Innii uhibbukifillah (Sesungguhnya aku mencintaimu saudariku karena Allah)”

Kemudian bagi yang mendapatkan ungkapan cinta itu dari saudarinya, katakanlah, “Ahabbakilladzii ahbabtaniilahuu (Semoga Allah mencintaimu karena Engkau telah mencintaiku)”

Untuk saudara/i ku, di dunia nyata maupun maya, juga untuk para kompasianer, izinkan aku mengungkapkan cintaku seperti yang dicontohkan oleh sahabat Rasul…

Uhibbukum Fillah (Aku mencintai kalian karena Allah)………^^

Seseorang itu akan dikumpulkan kelak di akhirat bersama orang-orang yang dicintainya. karena itu, mencintailah yang tepat. Cintailah orang yang melabuhkan cintanya kepada Allah.

Aku Tak Ingin Menangis!

Ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan, apa yang sangat ingin kita lakukan? Menangis?!

Seperti itulah yang kualami hari ini. Harapan yang kugenggam erat-erat sejak sebulan yang lalu, berebutan jatuh ke tanah. Seperti menggenggam pasir kuat-kuat. Semakin kuat aku menggenggamnya, semakin banyak butiran yang jatuh.

Celakanya, sesuatu yang membuat hatiku tercabik-cabik itu, yang memupuskan harapanku sedikit demi sedikit, yang membuatku tidak bisa menikmati makan siangku hari ini, yang berhasil menundukkan kepalaku saat berjalan tanpa ada keinginan sedikit pun tuk menoleh ke depan, hanya secarik kertas dalam amplop. Ukurannya sangat kecil pula! hanya seukuran kertas A4 dibagi lima. huwaaaaaa……>_<

Waduuuuh, kenapa terasa ada sesuatu yang hangat di pipiku ya? kesalku pagi tadi.

Duh Gusti, kenapa aku menangis… Aku tak ingin menangis!

Sesuatu itu mungkin hanya secarik atau potongan carik kertas. Tapi, ya ampun… tulisan di kertas itu yang jadi kunci harapanku. Aku mencoba menegarkan diri, tersenyum simpul kepada setiap kawan yang menyapa. meski rasanya kepalaku saat itu berat sekali, seperti ada godam yang menghantamnya. Mencoba tuk menjalani hari seperti tak terjadi apa-apa. Mungkin masih efek dari tulisan di atas kertas itu.

Semuanya, bersikap seperti biasa itu masih bisa kutahan. Hingga aku berjalan pulang menuju kos sore tadi…

Tidak dapat kutahan lagi. Akhirnya semua tumpah saat aku belum sampai ke kamar. Aku menangis! Tapi aku tak ingin menangis Tuhan….!

Kucoba tuk tegarkan diri kembali. Melihat-lihat sms motivasi yang selalu dikirim teman. Mambuka-buka kembali buku-buku motivasi yang tersusun rapi di kamarku. Memelototi kembali planning yang dulu kutulis dengan penuh semangat.

Mujarab!

Air mata itu berhasil kubentak tuk berhenti nongol di pelupuk mata.

“Ujian itu akan mendekatkan jarak antara diri kita dengan Rabb, mengajarkan kepada diri kita bagaimana berdo’a, dan akan menghilangkan kesombongan, ‘ujub dan rasa bangga diri. Optimislah, jangan pernah berputus asa dan jangan pula menyerah tanpa usaha. Berbaiksangkalah kepadaNya dan tunggulah segala kebaikan yang akan datang sebagai buah dari kesabaran.“

Kubuka salah satu sms yg masuk ke handphone-ku pagi tadi, dari nomor yang tak kukenali.

kubaca dan kuresapi maknanya…

Yah, aku harus optimis! harus berbaik sangka! tidak boleh menyerah! tak boleh menangis!

Bahwa semua yang dikehendaki Allah itu adalah yang terbaik. Meski yang terbaik tak selalu jadi yang terindah…

Anchy, (Kucoba berbicara dengan diri sendiri)

Kau boleh saja menangis. Tapi nanti setelah masalahnya selesai. pastikan saat kau menangis, kau menangis dalam keadaan menang.

Menang, saat akhirnya kau berhasil menyelesaikan satu per satu episode kesulitan ini dengan baik………..

Then, nampaknya hatiku sudah mulai bisa diajak kompromi oleh si akal. Kumulai menata diri lagi. Menyelesaikan apa yang bisa kuselesaikan malam ini. Kertas itu bukan penentu tercapai atau tidaknya harapanku. Tugasku hanya berusaha, karena dalam berusaha itulah aku menemukan kesempatan untuk berhasil!

Allah hanya ingin melihat usahamu. Setelah berusaha, jangan risaukan hal-hal yang memang tidak bisa di-handle, karena Dia yang akan meng-handle-nya di saat-saat yang paling tepat……….^_^

Si 01 Belum Bisa Hargai Waktu

Adakah kegiatan yang lebih menyebalkan daripada menunggu? Seseorang atau sesuatu? Sejenak atau berjenak-jenak?

Menunggu : sebuah kondisi di mana siapa pun Anda, punya tujuan atau kepentingan lain apa pun di luar sana, suka nggak suka mesti menyediakan diri untuk stay dan bahkan nggak tahu mesti berbuat apa selama masa penungguan itu.

Kalimat-kalimat yang kubaca dalam buku “Ah, Tuhan Sayang Padaku Kok…” ini sangat sesuai dengan yang kualami sekarang. Menunggu. Bukan lagi sejenak tapi sudah berjenak-jenak.

Hari ini, 25 Oktober 2011, digelar suatu kegiatan akbar bagi para penyandang gelar apoteker. Menurut rencana, kegiatan bernama Pelantikan dan Rapat Kerja Ikatan Apoteker Indonesia Sulawesi Selatan ini akan dimulai pukul 10.00 WITA.

Kulirik jam tanganku. Pukul 12.00 WITA. Huft,,, “masih mau lama!” gumamku dalam hati.

Molor…..

Sempurnalah pembunuhan waktuku dan waktu beratus orang di ruangan ini.

Kegiatan yang harusnya dimulai sejak dua jam lalu ini konon terpaksa harus diundur sampai ‘batas yang belum diketahui’ karena yang akan melantik dan membuka kegiatan ini belum nampak batang hidungnya. Yah, siapa lagi kalau bukan si 01 di provinsi tercinta ini…

Padahal, untuk hadir di tempat ini, semua (mungkin) matakuliah yang jadwalnya hari ini diliburkan. Fakultasku hening, seperti ruangan-ruangan tak berpenghuni. Semua kegiatan administrasi ditiadakan. pokoknya liburrrrr!

Celakanya, hal-hal seperti ini tak terjadi hanya di satu waktu, tapi hampir di semua kegiatan yang membutuhkan kehadiran siapapun yang bergelar 01.

Sedikit berbagi dari apa yang saya baca di buku itu, umumnya, kita (orang Indonesia) membiasakan diri untuk bersikap seperti ini saat ditunggu oleh orang yang ‘nilainya’ di bawah kita. Semakin ‘bernilai’ menguntungkan seseorang atau sesuatu tersebut, maka biasanya kita akan begitu menjaganya, perasaannya, waktunya, janjinya. Sebaliknya, semakin ‘tak bernilai’ menguntungkan ia pada kita, lazimnya kita akan begitu menyepelekannya, mengentengkannya, kendati kita tahu ia tengah menunggu kita, meluangkan waktu untuk kita, membunuh semua potensi yang bisa dilakukannya andai ia tidak sedang menunggu kita.

Ah, begitulah aku, engkau, dan kalian dalam membiasakan diri mengkalkulasi orang lain, dalam aspek apa pun…

Catatan Kecil Tentang Dia

Dia, Kakakku. Pendiam, pemikir, peduli, cerdas.

Ia diam di saat diam itu adalah emas

Ia bersuara lebih banyak lewat tulisan dan diskusi

Ia pemikir. Mengamati fenomena social yang dialami bangsanya

Menuangkannya lewat tulisan-tulisan yang ditulisnya dalam kesenyapan

Ia peduli. Selalu gelisah dengan tingkah penguasa yang merugikan rakyat

Selalu marah kepada pemiliki modal yang mengeksploitasi bumi bangsanya secara membabi buta

Ia Cerdas. Mengaitkan berbagai masalah yang muncul, menganalisa yang belum sampai ke permukaan, dan menawarkan solusi dari sudut pandang kepemudaannya yang kritis dan memiliki idealisme

Dia, sahabatku.

Mengajariku Bahasa Inggris, berbagai masalah social-politik, pendidikan, dan hal lain di luar bidangku sebagai mahasiswi Farmasi.

Menawarkan berbagai bacaan bermanfaat, mengajakku berdiskusi, mendengar keluhan-keluhanku dari hal yang remeh-temeh sampai yang serupa gunung merapi.

Memberiku semangat untuk selalu bermimpi besar dan tidak ragu bertindak.

Katanya, peluang itu diciptakan. Jangan takut gagal!

Dia, orang tuaku.

Mengajariku bagaimana beretika sebagai seorang perempuan yang lembut

Menyuruhku makan bahkan memarahiku jika menyisakan sebutir nasi di piringku

Apa yang ia katakan? “saat makan, ingatlah bahwa nasi yang kita makan itu tidak jadi dengan sendirinya. Butuh kerja keras dan berpuluh peluh dari para petani. Ingatlah pula, di luar sana ada yang sangat kesulitan untuk mendapat sesuap nasi.”

Yah, Dia, selalu menyampaikan dengan cara yang bijak

Catatan kecil ini tentang Dia.

Kakak, sahabat, dan orang tua dalam satu tubuh

Dia, yang saat ini mengabdikan dirinya untuk anak-anak bangsa di negeri seberang

Dia, yang selalu ada dalam doa

Dia, yang selalu kurindukan suaranya

Catatan kecil ini, tentang Dia…………

Berkeinginanlah, Insya Allah Terwujud!

Siapa yang tak pernah memiliki hal yang satu ini? Jika ada, hemm… seperti apa ya hidupnya?

Terkadang, ada orang yang sangat mengandalkan kalimat ini, “Biarlah hidupku seperti air yang mengalir”. Apakah kamu salah satunya?

Coba kita telaah kalimat ini. Seperti air yang mengalir, means tidak mempunyai kekuatan, ikut saja ke mana alur membawanya. Dan tahukah kawan, air yang mengalir itu selalu menuju tempat yang lebih rendah. So, apa prinsip hidup seperti ini masih patut kita pertahankan?

Pernah juga saya membaca, ada orang yang prinsip hidupnya seperti layang-layang. Semakin kuat ia melawan arus angin, maka semakin tinggi ia di udara. Prinsip ini sangat kontras dengan analogi air yang sebelumnya. Kita butuh kekuatan dari diri kita sendiri jika kita ingin menjadi lebih baik. Kita butuh untuk melawan arus. Jika ikut arus, kita akan terus berada di tempat yang rendah. Setuju? ^^

Back to topic, tentang keinginan. Saya menulis catatan kecil ini berangkat dari apa yang saya alami hari ini dan beberapa hari belakangan ini. Tentang nikmatnya punya keinginan. Keinginan yang sangat kecil, jika terwujud rasanya tak berhenti mau ngucapin Alhamdulillah.

Saya ingin berbagi satu hal kecil tentang keinginan. Beberapa hari lalu, mungkin belum genap sebulan, saya nonton film Bollywood. Di film itu, diceritakan tentang seorang anak yang mengalami disleksia (kesulitan dalam membaca dan menulis). Tak ada yang memahami kondisi anak ini, bahkan oleh orang tuanya sendiri. Beberapa kali ia tinggal kelas. Bagaimana tidak, jika disuruh membaca, ia melihat huruf-huruf dalam tulisan itu seperti menari-nari.

Semua orang menganggapnya sangat bodoh. Tiap hari ia dihukum oleh gurunya dan dicela teman sekolahnya. Membuat kerusuhan tiap hari, baik di rumah maupun di sekolah, akhirnya jadi tindakan yang ia pilih untuk menutupi ketidakmampuannya ini.

Apakah ia memang benar-benar bodoh? Jawabannya TIDAK SAMA SEKALI!

Di akhir cerita, di puncak konflik perasaan yang dialami anak ini, ia bertemu dan diajar oleh seorang guru seni honorer di sekolah asramanya. Sang guru ini (yang pernah mengalami disleksia di masa kecil) lah yang akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan diri anak tersebut dan melejitkan potensinya di bidang seni, utamanya melukis. Ia akhirnya jadi yang terbaik di sekolahnya. (Happy Ending donk… hehe)

EVERY CHILD IS SPECIAL…

Kalimat di bagian pembuka film yang berhasil buat saya pake tissue sampai berlembar-lembar ini sangat membekas di hati. Habis nonton film ini, saya buka buku kecil khusus yang selalu jadi sasaran tiap kali keinginan muncul di benakku. Kuambil pena, lalu kutulis besar-besar di sana,

“SUATU SAAT, SAYA INGIN JADI PENDIDIK BAGI ANAK-ANAK YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS, SEPERTI ANAK DALAM FILM ITU. YA, SUATU SAAT… AAMIIN!”

Selesai! Kututup buku itu, dan kubuka lagi tiap aku ingin menuliskan keinginan-keinginan yang lain.

Hari ini, belum genap sebulan saya menulisnya. Saya membuka lembaran di mana dulu kutulis kalimat itu besar-besar. Saya mencoretnya! Yah, karena hari ini, keinginan itu terwujud!! Belum genap sebulan… Alhamdulillah.

Pagi tadi, sekira pukul 09.00 WITA, saya meluncur menggunakan jasa ojek menuju perumahan dosen Tamalanrea Unhas. Dua hari yang lalu, seorang dosen memintaku berkunjung ke rumahnya untuk mengajar privat pelajaran kimia untuk anak lelaki bungsunya.

Sampai di sana, ternyata si anak sudah siap dengan buku kimia berbahasa Inggrisnya. Saya pun langsung diajak masuk kemudian ditinggalkan berdua saja dengan si anak di ruang tamu. Belajar dimulai! Anak ini cukup hiperaktif. Imajinasinya ke mana-mana. Karena masih SMP, materinya masih sangat dasar, sekadar pengenalan alat-alat laboratorium, tentang sifat-sifat senyawa asam, basa, dan garam, tentang unsur-unsur dalam system periodic, dan semisalnya. Bagi saya, ngajar materi-materi dasar seperti ini mungkin sangat mudah.

Tapi bagi anak ini tidak…

Beberapa kali saya coba membahas materi di buku itu dan menganalogikannya dengan benda-benda yang ada di sekitar saya pada waktu itu. Tapi si anak sepertinya tidak terlalu paham. Apalagi waktu membahas masalah asam, basa, garam, dan reaksi-reaksi kimia yang terjadi. Saya melihat ia mulai bosan.

Selama proses belajar-mengajar yang lebih banyak dibumbui dengan candaan itu, si anak lebih banyak bertanya tentang hal-hal yang justru menurutku sangat imajinatif, berangkat dari kenyataan yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari dan apa yang diamatinya lewat media seperti televisi.

“Kak, orang yang lagi berada di dalam laut dan yang ada di ruang angkasa itu sama ya… sama-sama pakai tabung besar di punggungnya. Tabung itu untuk apa? Isinya apa?” Ini salah satu pertanyaannya.

“Isinya Oksigen (O2), digunakan untuk bernapas” jawabku. Kebetulan waktu itu kami lagi bahas mengenai ikatan kimia dan salah satunya adalah Oksigen.

“Kenapa harus oksigen? Apa tidak bisa bernapas pakai carbon monoksida (waktu itu dia lihat di buku ada tulisan “Carbon Monoksida”) atau Karbondioksida saja?” tanyanya lagi.

Demikian seterusnya, ia bertanya berbagai macam pertanyaan setelah mengimajinasinya. Terkadang, saya melihat ia diam sebentar, terlihat berpikir, kemudian melontarkan banyak pertanyaan-pertanyaan.

Saya sih senang-senang saja menjawabnya. Tapi saya merasa tidak enak dengan orang tua anak ini, yang mengharapkan saya mengajar Kimia untuk anaknya. Sementara, saya melihat anak ini tidak terlalu senang belajar teori kimia. Matanya baru akan melek jika melihat angka atau berbicara masalah rumus-rumus. Hemm…….

Tingkah anak ini tak seperti anak biasanya. Sering berbicara ngawur, bertingkah aneh, dan hal tak lazim lainnya. Apa yang saya pikirkan saat itu? Saya bersyukur. Karena ternyata keinginanku dulu, yang belum genap sebulan kutulis di buku kecilku hari ini terwujud.

Seusai balajar-mengajar, saya sedikit berbincang dengan orang tua si anak. Menurut orang tuanya, anak ini memang memiliki kelainan, tidak seperti anak kebanyakan. Dia tidak mampu menganalisis. Dia sulit mencerna apa yang disampaikan kepadanya.

Dalam hati saya tersenyum simpul. Bukan karena bahagia dengan keterbatasan anak ini, tapi karena mengingat keinginan itu. Allah mendengarnya. Dan hari ini Allah menghadiahkannya untukku. Sedikit banyak, saya mulai merasakan repot, nikmat, dan enaknya ngajar anak ini. Melatih kesabaran, menuntut untuk selalu tersenyum, melihat tingkah-tingkah menyebalkannya sebagai sesuatu yang justru menantang kekreativan.

Saat menulis catatan kecil ini, saya merefleksi kembali list-list keinginan kecil hingga besar yang pernah kuikrarkan. Semakin kujajaki satu persatu keinginan itu, semakin kulihat Maha Penyayangnya Allah. Sangat banyak hal-hal yang dulu hanya berupa keinginan, namun kini terwujud, meski dalam bentuk yang tidak terlalu mirip.

Berkeinginanlah, Insya Allah terwujud!

Otonomi Daerah Versus Negara Federal

(Tulisan ini adalah catatan hasil diskusi Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Unhas Cabang Makassar Timur)

Indonesia, jika dilihat dari basic historinya, telah mendeklarasikan diri pada tahun 1945 sebagai negara yang berdaulat dengan beberapa model sejarah. Sebelum berdiri sebagai sebuah negara, Indonesia berada dalam fakta heterogenitas budaya.

Karenanya, dalam pengertian negara dan bangsa, Indonesia tak dapat disebut sebagai negara bangsa. Bangsa, secara defenisi merupakan ikatan komunitas yang berdiri berdasarkan ikatan budaya, sedangkan negara berdiri berdasarkan ikatan administratif. Beda halnya dengan Inggris, Amerika, serta beberapa negara di Eropa. Negara-negara ini pertama kali didirikan oleh orang-orang yang memiliki ikatan budaya yang sama.

Berdasar hal ini, ada suatu keanehan ketika kita mengkontekskan fakta heterogenitas itu dalam sebuah negara kesatuan. Di mana sebuah negara kesatuan cenderung dengan satu ciri mutlaknya, yaitu sentralistik.

Hal ini pula yang menyebabkan munculnya beberapa daerah di Indonesia yang tetap bersikukuh dengan adat-istiadatnya. Alhasil, tampaklah sebuah pengkhususan terhadap beberapa daerah seperti Yogyakarta, Aceh, dan Papua, yang wajahnya seperti sebuah negara dalam negara. Ada sebuah sistem pemerintahan yang tidak bertanggung jawab secara administratif kepada negara. Misalnya saja, sistem pemilihan langsung kepala daerah yang tidak berlaku di daerah Yogyakarta.

Dari adanya fakta heterogenitas ini pula, jika dimasukkan dalam konteks negara kesatuan, pada akhirnya akan melahirkan pengecualian-pengecualian. Yang pertama, adanya daerah yang dijadikan sentrum atau pusat.

Desain yang dibangun di Indonesia saat ini adalah desain yang telah dibangun 32 tahun yang lalu sejak zaman orde baru, di mana sentralistik yang dibangun Soeharto adalah sentralistik murni.

Ketika Jakarta dijadikan sebagai ibukota negara RI, dengan sistem sentralistik yang terjadi dalam bidang keuangan (lihat UU no.17 tahun 2003), diketahui bahwa pendapatan negara berasal dari dua pos besar yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Sumber Daya Alam (SDA).

Sistem keuangan yang dianut negara adalah sistem di mana aliran keuangan seperti air yang mengalir ke bawah. Jakarta dijadikan sebagai sentrum. Faktanya, Jakarta yang sama sekali tidak memiliki SDA dapat menjadi daerah dengan keterputaran uang di atas rata-rata. Ada hegemoni sistemik, di mana efek dari adanya satu daerah yang dipilih sebagai simbol yang mewakili daerah-daerah lain, menghasilkan keuntungan tersendiri bagi daerah tersebut.

Seperti halnya Kota Makassar yang sebenarnya tidak memiliki peranan sama sekali bagi kebudayaan-kebudayaan yang ada di Sul-Sel. Makassar bukanlah pusat pemerintahan kerajaan Gowa, Bugis, dan sebagainya. Makassar hanyalah kota pelabuhan, di mana banyak bangunan bergaya arsitek Belanda. Kota ini tidak memiliki akar sejarah apapun terhadap berdirinya Sul-Sel.

Namun, ketika kota ini dijadikan sebagai ibukota propinsi, daerah-daerah lain yang dulunya memiliki akar sejarah yang kuat, harus dimatikan dari segi ekonomi dan pembagian SDA. Desainnya sederhana saja. Semua pusat pemerintahan disetting sebagai daerah niaga. Dan semua daerah tingkat dua, diset sebagai daerah produsen. Efek yang ditimbulkan tak hanya berdampak bagi kondisi fisik daerah tersebut, tapi juga merambah pada cara berpikir masyarakat dan persoalan bagaimana model-model interaksi.

Jika ditinjau dari hukum tata negara, satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem otonomi daerah hanya Indonesia. Ada satu hal aneh jika kita melihat dasar hukum penerapan otonomi daerah di Indonesia. Ada beberapa dasar hukum yang melandasinya. Dari konstitusi, kita bisa melihat pada pasal 18A yang menyebutkan tentang pemerintahan daerah. Juga pada UU no. 32 tahun 2004.

Yang jadi sorotan adalah pasal 37 ayat 5 UUD 1945. Di pasal ini, ada satu statement yang aneh. Entah mengapa pasal tersebut dimasukkan sebagai sebuah nomenklatur dalam UUD. Pasal itu berbunyi, “Apapun pembahasan dalam UUD ini dapat dibahas kembali kecuali tentang bentuk negara kesatuan.”

Pasal ini, seakan-akan berupa sebuah bahasa ketakutan akan bergantinya Indonesia dari bentuk negara kesatuan menjadi negara federal. Yang jadi pertanyaan, kenapa Indonesia ‘mengharamkan’ bentuk negara lain selain negara kesatuan? Padahal, berdasarkan fakta historis, Indonesia sangat cocok dengan bentuk negara federal.

Perbedaan substansial antara negara federal dengan negara kesatuan terletak pada sistem pemberian kewenangan, atau dalam ilmu kajian tata negara disebut sebagai teori residu kewenangan. Dalam sistem negara federal, yang menentukan kebijakan pertama kali adalah pemerintah di tingkat daerah. Jadi alurnya dari daerah ke pusat. Sistem keuangan yang digunakan adalah sistem bottom up (dari bawah ke atas).

Pemerintah kemudian membuat terobosan dengan membuat UU no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Konsepnya, berdasarkan gagasan Prof DR Riyas Rasyid, Dewan Pembina PDK, yang menggagas pentingnya pembentukan sebuah sistem pemerintahan yang sesuai dengan bentuk kultur Indonesia. Semestinya, gagasan ini diarahkan pada pembentukan negara federal.

Otonomi daerah adalah pemberian tugas dan kewenangan seluas-seluasnya kepada daerah untuk mengelola tugas yang diberikan oleh pusat. Otonomi daerah adalah konsep yang dibuat untuk mempertemukan dua titik ekstrim. Titik ekstrimnya adalah, secara konstitusi Indonesia harus menganut sistem negara kesatuan, tapi di sisi lain merupakan negara yang multi budaya.

Akar masalahnya terletak pada alasan prinsipil yang mendasari pembentukan negara kesatuan. Padahal, bentuk negara kesatuan tidak pernah memberi kontribusi yang besar terhadap perkembangan wilayah Indonesia. Mungkin, alternatif yang bisa diterapkan adalah berpindah ke sistem negara federal.

Karena Menulis Itu, Sangat Menyenangkan!

Sekira dua bulan yang lalu, saya mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Salah satu program yang wajib diikuti sebelum menyusun tugas akhir berupa skripsi. Kegiatan ini mengantar saya merasakan bagaimana hidup di pelosok, jauh dari berbagai kemudahan dan tersedianya fasilitas seperti di kota.

Sebelum berangkat ke lokasi KKN, saya menyiapkan satu buku kecil khusus yang akan kujadikan teman berbagi selama di sana. Setiap hari selama di sana, saya menyempatkan untuk menulis apa yang saya alami dan rasakan pada hari itu. Terkadang, beberapa teman menegur sedikit mengejek kebiasaan saya ini. Bagi saya tak ada masalah. “Mereka hanya belum tahu, bagaimana nikmatnya menulis.” pikirku.

_dua bulan kemudian_

Hari ini Sabtu. Sebagai mahasiswi Farmasi semester akhir, kegiatan akademik di kampus sudah mulai menurun. Tak seperti semester sebelumnya, yang rasa-rasanya tujuh hari dalam sepekan itu tak cukup hanya untuk praktikum di laboratorium.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan di kos (yah, belajar jadi ibu rumah tangga sebelum waktunya..^^), buku kecil yang kumaksud tadi tiba-tiba menarik perhatianku. Kubuka lembar pertama,

“It’s about my story in Marioriaja Village. Hopefully, will be a nice moment, that’s hard for me to forget it…”

Tulisan ini yang kutemukan di lembar pertamanya.

Aku tersenyum kecil…^_^

Kubuka lembar kedua… “The First Day” Tulisan ini semakin memicingkan mataku karena tersenyum.

Demikian hingga lembar-lembar selanjutnya…

Sangat menyenangkan! Tersenyum, serasa mendengar keluhan, riang tawa, dan tangis diri sendiri dua bulan yang lalu. Seolah menonton drama kehidupan diri sendiri dua bulan lalu. Terkadang, saya merasa bingung, karena beberapa dari moment itu, sudah tidak tersimpan di memori otakku.

Kawan, saya hanya ingin menyampaikan,

menulis itu menyenangkan! mengikat makna dari tiap peristiwa. Karena memori otak tak setangguh coretan pena…

Menulislah, karena suatu saat kau akan dapati dirimu tersenyum simpul hingga lebar karena tulisan itu. Demikian pula dengan keinginanmu. Tulislah ia secara nyata. jangan hanya disimpan di memori, karena suatu saat kau akan lupa! Tulislah keinginan itu, sebanyak apapun ia. Hingga nanti kau akan dapati tulisan-tulisan itu hanya berupa coretan karena kau telah meraihnya satu demi satu………

Catatan Mereka untuk Sang Demonstran

“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya

tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar, terimalah, dan hadapilah”

Pergulatan hidup Soe Hok-gie, yang mati muda dalam usia 27 tahun kurang sehari, terangkum dalam satu bait puisi ”Mandalawangi-Pangrango” di atas, yang disuguhkan tepat ketika kita membalik sampul depan buku ini.

Kehadiran buku “Soe Hok-Gie…Sekali Lagi”, tampaknya mulai membuka sisi lain dari Hok-Gie. Sosoknya perlahan mulai terungkap, meskipun tak bisa secara utuh mengurai kompleksitasnya.

Buku ini berisi sejumlah tulisan dari beberapa sahabat dekat, rekan pencinta alam yang tergabung dalam Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia (UI), budayawan, peneliti, sineas, maupun aktor. Dari tulisan-tulisan inilah dapat diketahui mozaik lain dari Hok-Gie.

Penulis pertama buku ini adalah Rudy Badil, salah seorang anggota Mapala UI yang ikut serta dalam pendakian ke Semeru, pada pertengahan Desember 1969. Di bagian awal inilah Rudy menceritakan apa yang dialaminya saat-saat terakhir bersama Hok-Gie.

Saat itu, Kepada Herman O Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo, Maman Abdurrachman, Wiwiek Anton Wijana, Idhan Lubis, dan Freddy Lasut, Hok-gie berkelakar akan merayakan ulang tahunnya ke-27 di puncak Gunung Semeru pada 17 Desember 1969. Namun apa daya, ”yang tanda tanya” (takdir, red.) berkata lain. Gie dan Idhan kecelakaan. Keduanya mengembuskan napas terakhir seusai mendaratkan kaki di puncak Semeru.

Nah, detail cerita ihwal pendakian di Semeru itulah yang menjadi menu utama buku ini. Namun, membuat cerita lengkap tentang peristiwa yang berlalu 40 tahun silam, bukanlah pekerjaan mudah. Tentu sulit merawat sebuah ingatan yang seusia dengan satu generasi itu. Pekerjaan mengumpulkan ingatan, sejatinya merupakan proyek melawan tua tersebut. Inilah yang dilawan Rudy Badil dan kawan-kawannya yang ikut bersama Hok-gie mendaki Gunung Semeru.

Secara umum, Rudy Badil dan kawan-kawan (dkk) berhasil menghadirkan kembali peristiwa itu di hadapan pembaca buku ini, tepat 40 tahun sejak kematian Hok-gie. Pembaca akan menangkap suasana dan drama mencekam episode pendakian ke puncak Semeru, serta proses evakuasi dari gunung dengan ketinggian 3.676 meter itu.

Pun, proses pengiriman jenazah Hok-gie dan Idhan dengan menggunakan pesawat milik AURI (sekarang TNI AU). Acungan jempol bagi penerbit yang mempertahankan gaya bertutur ala Rudy Badil dkk, sehingga pembaca bisa kembali ke suasana masa tahun 1960-an.

Dari sejumlah tulisan lain dalam buku ini, terungkap pula bahwa Hok-gie adalah sosok idealis, yang seakan tak pernah takut kepada siapapun, selama ia yakin dengan sikapnya. Bahkan, ia siap berhadapan dengan penguasa, jika memang dianggapnya mencederai rasa keadilan.

Tak heran jika kritik maupun protes keras acap kali ia sampaikan kepada penguasa, terutama lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Hasilnya, Hok-Gie dianggap orang yang berseberangan dengan penguasa.

Hok-Gie memang sinis dengan ketidakadilan dan kemunafikan. Ia tidak segan melakukan serangan terhadap realitas seperti itu. Untuk soal ini, sikapnya hanya hitam-putih, tak ada wilayah abu-abu. Dalam pandangannya, setiap kekeliruan harus diluruskan, meskipun itu dilakukan seorang pejabat yang memiliki otoritas.

Jakob Oetama, Pemimpin umum harian Kompas, pernah berkata, “Soe Hok-Gie mungkin tidak sekadar nama, tetapi sebuah nama yang telah mengukirkan sosok yang terus gelisah, inspirator yang terus menggugat, atas nama integritas dan kehormatan diri.”

Kekritisan Hok-Gie ternyata bersifat mengakar, hingga menyentuh persoalan agama. Dalam hal ini, Hok-Gie tak bermain mutlak-mutlakan. Ia yang mengaku mengalami “krisis kepercayan”, menolak pendapat dari otoritas pemuka agama, yang menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah satu-satunya agama yang akan mengantarkan manusia ke surga. Bagi Hok-Gie, gagasan ini terlalu berlebihan. Agama, menurutnya, haruslah membawa pembebasan dan bukan menjadi alat masyarakat untuk mencapai kepentingan tertentu.

Di balik itu semua, ada sisi menarik lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu berikap kritis dan tegas terhadap apa yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-Gie adalah anak muda dengan dinamikanya sendiri. Entah itu dalam pergaulan, komunitas hobi, kampus, sampai perempuan.

Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku ini adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Hok-gie adalah pendobrak, tetapi ia terus-menerus bertemu sepi, kala harus mempertahankan idealismenya…

Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran. Sayangnya dalam buku ini, tidak dimuat sebagian surat pribadi Hok-gie.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini layak dibaca siapapun, khususnya bagi kalangan intelektual dan aktivis mahasiswa. Nilai-nilai yang dianut Hok-gie sebagai sosok aktivis dan cendikiawan yang mengedepankan humanisme, moralitas, kejujuran, setiakawan dan integritas yang kukuh, tak mudah dibeli tapi layak ditiru.

Seperti kata Rudy Badil, semangat Hok-gie dan keberaniannya mengungkapkan apa yang dilihat dan dirasakan, sesuai dengan apa yang ditulisnya, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”

Akhirnya, memunculkan kembali sosok Soe Hok-gie lewat bunga rampai buku ini, tentu tak bermaksud tuk mengkultusindividukan. Mungkin tepat apa yang ditulis Jakob Oetama, sosok Hok-gie pantas ditampilkan dan jadi teladan, di tengah krisis rasa keadilan, hilangnya rasa malu dan gencarnya semangat menggugat hukum saat ini.

Andai Hok-gie masih ada, apa kira-kira sikapnya terhadap berbagai praktik korupsi saat ini? Barangkali, ia akan berteriak lantang, ”Siapa salah, harus mempertanggungjawabkannya. Tak ada kompromi di depan hukum dan sejarah. Hanya orang-orang bersih yang akan membawa negeri ini bebas dari korupsi!” Dari Hok-gie, kita semua belajar tentang satu hal yang lamat-lamat ditinggalkan: integritaslah yang membedakan manusia satu dengan yang lain. Selamat Membaca!

Untuk Kekasih Saya Tercinta, Allah...

Ya ALLAH, tahukah Engkau bahwa malam ini saya sangat merindukanMu… sangat ingin berbicara denganMu, sangat ingin berdua saja denganMu, sangat ingin Engkau mendengarkan apa saja yang saya alami dibumi milikMu, sangat ingin dimanjakan olehMu, sangat ingin disayangi dengan segenap kasih sayangMu, sangat ingin tidak ada hijab, tidak ada jarak diantara kita, sangat ingin Engkau memaafkan segala kesalahan saya dimasa masa yang lalu agar kita bisa bersama hingga ujung napas saya, bahkan setelah napas saya berpisah dari raga saya ini…

Ya ALLAH tahukah Engkau bahwa namaMu selalu saya sebut disetiap langkah saya… bahwa namaMu adalah nama terindah yang pernah saya kenal, bahwa dengan menyebut namaMu hati saya akan kembali tenang, bahwa namaMu mampu membuat segumpal daging merah bernama hati didalam jiwa saya bergetar, bahwa namaMu begitu indah bukan hanya ditelinga saya, tapi diseluruh darah yang mengalir sempurna didalam raga saya bahkan berdetak sempurna bak rentakan rampak gendang dijantung hati saya…

Ya ALLAH saya ingin Engkau tahu bahwa saya sangat mencintaiMu melebihi apapun yang disinari oleh matahariMu, saya ingin Engkau tahu bahwa cinta ini membuat saya ingin terus memperbaiki diri agar Engkau tahu bahwa semua yang saya lakukan adalah untuk memperoleh cintaMu, karena saya tahu bahwa saya tidak bertepuk sebelah tangan atas cinta ini…

Ya ALLAH kehadiranMu selalu ada dalam setiap helaan napas saya, tak sehelapun tanpa kehadiranMu, Engkaulah pelepas dahaga jiwa saya, Engkaulah penghapus rasa lapar jiwa saya, penyejuk mata, cahaya akal, pengharum batin, Engkaulah penawar racun didalam raga hamba… You are my everything, You are the step I made, You are my daily sunshine

Ya ALLAH jangan tinggalkan saya, jangan jauhi saya jika saya salah, … tak ada yang lebih baik dari yang saya miliki kecuali Engkau, tak ada cinta yang lain, tak akan saya mencintai apapun diduniaMu yang akan membuat Engkau cemburu dan marah lalu meninggalkan saya, TAK AKAN saya berselingkuh dengan Tuhan lain selain Engkau, tak akan ada cinta yang lain wahai ALLAH

Ya ALLAH inilah saya yang mencintaiMu melebihi apapun … jangan tinggalkan saya

Wahai ALLAH tercinta, yang tiada TUHAN selain Engkau … saya janji nanti saya akan kirimi lagi Engkau surat cinta saya yang lain ya ALLAH, saya tahu bahwa Engkau tidak pernah lelah menanti cinta saya … menunggu surat cinta saya yang lain, I LOVE YOU wahai ALLAH

Ketahuilah wahai ALLAH bahwa surat cintaMu yang terlukis indah dalam kitab suciMu Al Quran selalu saya baca untuk melepas kerinduan yang membuncah didalam jiwa saya … saya sangat sangat merindukanMU.

Izinkan Aku

Wahai ibu,
Besok, aku akan pergi bersama sepi
Menjadi terasing dalam dunia yang bising
Lusa, sang bayu kan menari dalam riang jilbabku
Memberikan penegasan pada kompas hidupku
Izinkan aku memilih menjadi jundi
Relakan aku berkawan kerikil dan duri
Ikhlaskan diri ini menjadi mentari
Bagi perindu-perindu Ilahi

Wahai ibu,
Jalan ini memang tak berujung
Perjuangan ini pun tak kenal buntung
Dia kan terus hidup
Sampai napas tak lagi berhembus
Dia kan tetap utuh bersama doa
Dalam kelam yang membius
Doakan aku ibu, untuk menjadi muslimah kaffah
Mohonkan diri ibu, tuk tetap istiqomah
Berdiri di barisan terdepan
Kafilah perindu Syurga
Hidup mulia atau syahid sebagai syuhada!!!

Surat Buat Ayah

Maaf jika aku baru tersadar,

Bahwa sudah terlalu banyak keringat yang keluar dari kulitmu

Hingga tak mampu aku seka walau dengan sejuta handuk

Karena sudah membanjiri dan menggenangi setiap lantai yang kupijak

Maaf jika aku kini tercenung,

Karena terperangah oleh gundukan kebijakan

Yang telah kau pikirkan, katakan, dan kau lakukan

Hingga rasanya tiap kepatuhan yang telah kulakukan

Tak mampu untuk membayar semuanya

Maaf jika aku baru melihat,

Banyaknya luka di otak dan tubuhmu

Tersayat oleh segala kekurangan dan ketidakberdayaanku

Terhujam dan tertikam oleh tindak tanduk yang tiada berkenan

Maaf jika aku tidak memperhatikan,

Berjuta keluh dan lenguh lelah yang kau teriakkan di kesunyian kala sendiri

Sembunyi agar tiada dari anakmu terbangun karenanya di tengah malam

Dan kembali ke dunia mimpi dengan ketidakberdayaan jiwa

Aku tahu engkau telah hidup di dua alam sejak dulu….

Siang kau sibuk bagai semut yang tak kenal lelah,

Dan malam kau beterbangan bagai kelelawar lapar yang tak kenal bosan mengepak sayap

Aku juga tahu bahwa kau telah tutupi sakit dan perihmu

Karena ketegaran itu harus kau tunjukkan agar kami tiada berteriak lapar dan sedih

Kini usiamu telah lanjut seperti bunga yang kembali merunduk setelah 1 minggu mekar,

Gurat gurat lemas di wajahmu mulai berlomba untuk bersolek,

Dan ritme nafasmu yang semakin lemah perdengarkan hembusannya

Hai ayah……ini aku tulis sebuah surat janji padamu

Rumah Allah yang ingin kau bangun nanti dalam tiga kali hela nafas, akan terbangun…

Kebahagiaan masa tuamu dalam satu kedip mata, akan bawakan tandu untuk membawamu…

Istana dunia yang ingin kau dapatkan, dalam satu sebut kau panggil namaku, kau akan berada didalamnya…

Ketenangan jiwa yang kau idamkan dalam dua kali teriakmu, akan terbirit birit untuk menghadapmu…

Senyum senyum puas dalam dua kali kau jejaki bumi, akan tergantung dengan manis di wajahmu….

Segarnya udara pagi tanpa beban, akan selalu menyapamu tanpa kau mimpikan terlebih dulu…

Dan peluk istri tercintamu akan selalu dapat kau rasakan, karena tak akan pernah ku biarkan ia mengkhawatirkan kebutuhanku…

Surat janjiku ini adalah sumpah atas nyawaku

Surat janji ini adalah harta yang menjadi jaminan atas kebahagiaanku

Jika boleh, maka biar kutukarkan semua nafas yang kumiliki dengan terkabulkannya isi suratku

Sebelum aku melihat ayah menangis bahagia dan memelukku atas terciptanya mimpimu,

Maka tak akan pernah kubiarkan tubuh ini beristirahat hingga jatuh dan terkulai untuk selamanya….

Hidupku untuk kebahagiaanmu wahai orangtuaku (Dalam rangka beribadah pada Tuhanku)…

Percaya dan yakinlah aku mampu esok…..

Ketika Allah Memilihmu Untukku

Padamu yang Allah pilihkan dalam hidupku..

Ingin ku beri tahu padamu..

Aku hidup dan besar dari keluarga bahagia..

Orang tua yg begitu sempurna..

Dengan cinta yg begitu membuncah..

Aku dibesarkan dgn limpahan kasih yang tak terhingga..

Maka, padamu ku katakan..

Saat Allah memilihmu dalam hidupku,

Maka saat itu Dia berharap, kau pun sanggup melimpahkan cinta padaku..

Memperlakukanku dgn sayang yang begitu indah..

Padamu yang Allah pilihkan untukku..

Ketahuilah, aku hanya wanita biasa dengan begitu banyak kekurangan dalam diriku,

Aku bukanlah wanita sempurna, seperti yang mungkin kau harapkan..

Maka, ketika Dia memilihmu untukku,

Maka saat itu, Dia ingin menyempurnakan kekuranganku dgn keberadaanmu.

Dan aku tahu, Kaupun bukanlah laki-laki yang sempurna..

Dan ku berharap ketidaksempurnaanku mampu menyempurnakan dirimu..

Karena kelak kita akan satu..

Aibmu adalah aibku, dan indahmu adalah indahku,

Kau dan aku akan menjadi ‘kita’..

Padamu yg Allah pilihkan untukku..

Ketahuilah, sejak kecil Allah telah menempa diriku dgn ilmu dan tarbiyah,

Membentukku menjadi wanita yg mencintai Rabbnya..

Maka ketika Dia memilihmu untukku,

Maka saat itu, Allah mengetahui bahwa kaupun telah menempa dirimu dgn ilmuNya..

Maka gandeng tanganku dalam mengibarkan panji-panji dakwah dalam hidup kita..

Itulah visi pernikahan kita..

Ibadah pada-Nya ta’ala..

Padamu yg Allah tetapkan sebagai nahkodaku..

Ingatlah.. Aku adalah mahlukNya dari tulang rusuk yang paling bengkok..

Ada kalanya aku akan begitu membuatmu marah..

Maka, ketahuilah.. Saat itu Dia menghendaki kau menasihatiku dengan hikmah,

Sungguh hatiku tetaplah wanita yg lemah pada kelembutan..

Namun jangan kau coba meluruskanku, karena aku akan patah..

Tapi jangan pula membiarkanku begitu saja, karena akan selamanya aku salah..

Namun tatap mataku, tersenyumlah. .

Tenangkan aku dgn genggaman tanganmu..

Dan nasihati aku dgn bijak dan hikmah..

Niscaya, kau akan menemukanku tersungkur menangis di pangkuanmu..

Maka ketika itu, kau kembali memiliki hatiku..

Padamu yang Allah tetapkan sebagai atap hunianku..

Ketahuilah, ketika ijab atas namaku telah kau lontarkan..

Maka dimataku kau adalah yang terindah,

Kata2mu adalah titah untukku,

Selama tak bermaksiat pada Allah, akan ku penuhi semua perintahmu..

Maka kalau kau berkenan ku meminta..

Jadilah hunian yg indah, yang kokoh…

Yang mampu membuatku dan anak-anak kita nyaman dan aman di dalamnya..

Padamu yang Allah pilih menjadi penopang hidupku…

Dalam istana kecil kita akan hadir buah hati-buah hati kita..

Maka didiklah mereka menjadi generasi yg dirindukan syurga..

Yang di pundaknya akan diisi dgn amanah-amanah dakwah,

Yang ruh dan jiwanya selalu merindukan jihad..

Yang darahnya mengalir darah syuhada..

Dan ku yakin dari tanganmu yg penuh berkah, kau mampu membentuk mereka..

Dengan hatimu yg penuh cinta, kau mampu merengkuh hati mereka..

Dan aku akan selalu jatuh cinta padamu..

Padamu yang Allah pilih sebagai imamku…

Ku memohon padamu.. Ridholah padaku,

Sungguh Ridhomu adalah Ridho Ilahi Rabbi..

Mudahkanlah jalanku ke Surga-Nya..

Karena bagiku kau adalah kunci Surgaku..

Dari Ummu Salamah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu’ alaihi wa Sallam bersabda : “Seorang perempuan jika meninggal dan suaminya meridhoinya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Ahmad dan Thabrani)

Saat Aku Pulang

Saat aku pulang.. Saat aku memasuki rumah..

Aku masih bisa memandang wajah kedua orang tuaku.. Aku masih bisa berada dalam dekapan keduanya.. Senyum, tawa, dan tangis mereka masih sangat nyata di hadapanku..

Masih ada suara yang memanggilku “nak..” Yaa..Panggilan itu selalu indah untuk ku dengar..

Masih ada tubuh yang siap mendekapku saat aku ingin bergelayut manja.. Masih ada tangan yang bisa aku cium setiap kali aku akan keluar rumah.. Masih ada lantunan doa untukku yang keluar dari bibir keduanya..

Allah.. Terima kasih untuk nikmat yang Kau beri ini.. Nikmat yang masih Kau perkenankan untuk aku rasakan.

Sementara di luar sana.. Ada orang lain yang tak tau kemana harus pulang.. Saat ia rindu, ia tak tau kemana harus membawa rasa rindunya..

Wajah orang tuanya hanya bisa hadir dalam bayang-bayang.. Tak ada lagi lantunan doa untuknya, yang ada justu ia berdoa untuk orang tuanya.. Kedua orang tuanya tak lagi disisinya, tapi disisiMu..

Allah.. Aku tak pernah tau sampai kapan aku masih bisa bersama kedua orang tuaku.. Karena itu bantu aku untuk bisa membahagiakan keduanya.. Bantu aku, karena aku tak bisa berbuat apa-apa tanpaMu..

Aku tau, akan ada saatnya aku tak lagi melihat keduanya di rumah.. Akan ada saatnya aku harus sendiri tanpa mereka.. Akan ada saatnya rindu ini tak lagi bertuan..

Allah.. Perpisahanku dengan kedua orang tuaku itu pasti adanya.. Entahlah.. Aku atau keduanya yang akan pergi lebih dulu menghadapMu.. Duhai Allah.. Sebelum perpisahan itu benar-benar tiba.. Bantu aku untuk bisa jadi anak yang sholehah.. Anak yang bisa menjadi amal jariyah bagi keduanya..

Kutulis untuk kedua orang tuaku.. Maaf jika anakmu ini belum sepenuhnya bisa menggapai cita seperti inginmu.. Cita yang aku pun tak tau kapan akan tergenapkan..

Buku, Mercusuar Peradaban

Seringkali saya menggerutu mengingat celetukan seorang teman. Kita ini sekolah di sekolah yang sama, guru-gurunya juga sama, mata pelajaran dan jam masuk sekolah pun sama. Setelah lulus, ada yang pintar, ada juga yang tetap gak pintar. Ada yang jadi pegawai bank, ada juga yang kerjaannya ngutang di bank. Ada yang jadi orang kaya dan dermawan, yang jadi maling juga ada. Banyak yang jadi pegawai kantoran, yang jadi pengangguran juga tak kalah banyak.

Ingatan itu kemudian segera disusul dengan ingatan lain. Sebuah pepatah. “Membaca adalah membuka jendela dunia.” Saya tahu! Bahkan sejak SD saya tahu pepatah itu. Semangat membaca inilah yang seringkali hilang dan terkikis, atau bahkan tak pernah ada. Terkalahkan oleh suara merdu gadis manis dalam sinetron, atau infotainment yang menyiarkan perceraian artis-artis cantik yang kini marak, atau kemesraan artis muda yang sedang dilanda asmara.

Bahkan film-film kartun terasa lebih menggoda daripada papan tulis kucel sewaktu saya SD. Sambil mengingat masa kecil, membaca jadi aktivitas yang teramat berat untuk dilakukan. Bisa jadi, membaca hanya jadi obat tidur yang lumayan manjur.

Ah, kalau saja banyak buku yang sempat saya baca, pasti akan saya ceritakan tentang sejarah dunia dan peradabannya. Tak sekadar ocehan saya yang menjemukan. Tentang demokrasi, globalisasi dan lain sebagainya. Atau akan kujelaskan perputaran bumi dengan rumus-rumus matematika yang kuracik dengan teori fisika, bahkan tentang alam semesta yang kupadukan dengan teori-teori kimia.

Saya akan beberkan tentang teori ekonomi baru untuk memberantas kemiskinan, barangkali bisa membuat adik-adik kita merasa nyaman berangkat ke sekolah tanpa harus berpikir besok makan apa. Dan tak perlu risau krisis gobal di Amerika.

Di waktu luang akan saya ciptakan metode baru pengelolaan sampah yang gampang ditiru, sehingga tak perlu lagi negara butuh pemulung yang terus mengais, tak ada lagi saudara kita menjadi korban dan mati tertimbun tumpukan sampah. Akan saya kaji ulang hukum-hukum, bila perlu saya buat yang lebih relevan sehingga tak ada lagi permasalahan hak asasi manusia.

Atau saya ciptakan saja alat pendeteksi bencana, sehingga banjir dan gempa tak perlu lagi menjadi alat Tuhan mengambil nyawa. Atau kusiapkan modul tentang itu semua untuk dapat dilaksanakan bersama dengan negara. Kalaupun negara kita tak mau melaksanakannya, biarlah kumaki sendiri saja setelah selesai mengajari anak-anak belajar membaca.

Itu “kalau saja”. Sekarang, mari menengok ke depan.

“Episto ergo sum, Saya menulis karena saya ada”

Slogan ini saya pilih untuk meneguhkan diri sebagai seorang yang mulai senang menulis. Menulis, bagi saya bukan sekedar bergaya pamer pengetahuan atau menyehatkan pikiran. Menurutku, dengan menulis, kita berderma pengetahuan.

Akumulasi pengetahuan yang ada pada diri kita bertambah awet dan banyak ketika kita membagikannya. Kesenangan menulis mungkin terdorong dari mulai tumbuhnya kegemaran melahap bacaan. Kini, bagi saya, membaca adalah membuka diri untuk memperoleh virus-virus wawasan baru. Untuk terus-menerus mendidik diri sendiri. Saya ingat nasehat John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money From Ideas (2001), ”Leave school early, if you want, but never stop learning.”

Keduanya, menulis dan membaca, adalah hal yang saling melekat satu sama lain. Ia seperti aktivitas metabolisme dalam tubuh. Dengan menulis, saya seperti melakukan aksi donor darah. Darah disedot secukupnya melalui menulis. Kemudian, saat membaca, seolah saya memperoleh darah-darah yang baru untuk mengalir di tubuh ini.

Tulisan yang kita tulis, juga saya ibaratkan sebagai nyala kunang-kunang. Tidak semua orang akan merasa takjub atau mampu memahami sinar yang ia pancarkan. Tapi, bagi orang tertentu, bila terjadi ‘klik’, tulisan itu dapat menjadi cahaya yang bermakna bagi banyak orang.

Apalagi bila cahaya itu memiliki voltase yang tinggi. Misalnya, memiliki relevansi, nilai-nilai moral, bukan slogan, tapi ketukan yang mampu menyapa hati. Agar mampu menulis tulisan yang bervoltase tinggi itu, seringkali, mau tak mau harus merujuk kepada sumber-sumber cahaya tertentu, utamanya buku.

Buku jadi prasyarat utama peradaban menggapai kemajuan dan kejayaan. Dari buku, akan lahir berbagai pemikiran cerdas nan cemerlang yang mampu menyingkap tabir alam semesta ciptaan Tuhan. Buku hadir bukan sekadar ditulis, dijual, dibeli, dan dibaca.

Buku menghadirkan titik-titik pusar hidup yang dapat dijadikan starting point membuka perubahan. Berubah dari kegelapan menuju kecemerlangan. Dari miskin konsep menuju kaya konsep.

Dari sini, dapat dianalisis bahwa kedatangan Muhammad di Jazirah Arab oleh Allah pertama-tama dibekali dengan buku berupa Al-Qur’an, yang perintah pertamanya adalah membaca (Iqra’). Dari Al-Qur’an inilah, Nabi sukses memahat Jazirah Arab sebagai monumen berdirinya negara demokrasi paling bersejarah di dunia.

Begitu hebatnya makna buku dalam menggenggam dunia, maka sebuah keniscayaan bagi kita untuk terus bergelayut dengan buku. Sebagai mercusuar peradaban, buku menjadi agen penting tumbuhnya kesadaran kritis berbangsa. Indonesia sampai kini belum memberikan perhatian penuh terhadap pengembangan buku. Masyarakat Indonesia masih ‘bangga’ dengan ketidakmampuannya membaca.

Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya jumlah orang buta huruf di Indonesia. Kalau di kota besar, kita bisa menjumpai beragam perpustakaan. Tapi di desa? Perpustakaan dan toko buku sangat sulit ditemui. Masyarakat lebih dikejar gaya hidup budaya pop. Laju budaya pop begitu bergemuruh, sedangkan laju buku terhambat, pampat di jalan.

Jika bangsa ini ingin masyarakat desanya menjadi berperadaban, proyek pembuatan perpustakaan mestinya bukan sekadar di wilayah kabupaten, namun sampai di pedesaan. Pemerintah pusat perlu membuat kebijakan agar seluruh pemerintah desa membuat perpustakaan umum warga. Di sanalah nanti akan terjadi transmisi keilmuan yang merata. Nalar kritis akan terbangun.

Tak hanya itu, bagi kaum terpelajar, khususnya intelektual yang telah banyak ‘makan’ buku, seharusnya juga berinisiatif mendirikan rumah baca, minimal bagi tetangganya. Apalagi, kalau si kaum terpelajar langsung terjun memelopori semangat membaca warga. Di situlah akan tercipta masyarakat kritis dan kreatif baru yang dapat mengubah sejarah peradaban dunia.

(Dari berbagai sumber)

Wajah Gerakan Mahasiswa Kini

“Gerakan mahasiswa ibarat ombak yang tidak pernah berhasil mencapai pantai.

Gerakan itu pecah berkeping-keping,

Melewati batu-batu karang

Atau pasir-pasir penghalang gerakan mereka”

(Daniel Dhakidae di Majalah Prisma tahun 1980-an)

Indonesia, dulu, kini dan nanti tetap membutuhkan kaum intelektual yang bukan saja kaya akan konsep-konsep ilmiah, namun juga mau terjun langsung ke lapangan. Kaum intelektual Indonesia bukanlah “orang yang berumah di atas angin”. Mereka juga bukan cerdik cendekia yang tinggal di “Menara Gading” (Ivory Tower) yang tercerabut dari akar masyarakatnya dan hidup di awang-awang. Melainkan, dan terlebih lagi, harus siap bagaikan “resi yang turun dari tempat pertapaan mereka di gunung-gunung sepi.” Artinya, hasil kontemplasi pemikirannya sebagai resi yang bertapa menimba ilmu di universitas dijabarkannya dalam pemikiran dan tindakan nyata di masyarakat.

Nuansa pergerakan mahasiswa memang berubah dari zaman ke zaman. Di awal pra-kemerdekaan, mereka berjuang membangun fondasi kebangsaan yang amat kokoh. Pada awal kemerdekaan mereka juga masih berjuang untuk membangun rasa keindonesiaan yang mendalam. Baru pada 1960-an, para kaum intelektual kampus mulai bicara tentang “Amanat Penderitaan Rakyat”.

Namun, yang terjadi sekarang, begitu banyak perbedaan ironi yang mewarnai gerakan mahasiswa. Jika para aktivis mahasiswa masa lalu mendasari aktivitasnya dari bacaan-bacaan yang amat kaya, kini sebagian besar mahasiswa lebih mendasari pergerakannya pada gegap langkah yang kadang miskin akan ide untuk memberi arah bagi Indonesia masa depan.

Akankah mahasiswa dan kelompok intelektual masih memiliki greget dalam gerakan politik mereka demi perbaikan nasib rakyat? Segalanya masih mungkin, walau kondisi social ekonomi mahasiswa saat ini, khususnya di kota-kota besar, amat berbeda dengan kondisi pada masa lalu. Kebanyakan mahasiswa saat ini berasal dari keluarga golongan menengah ke atas, karena hanya merekalah yang mampu mengenyam pendidikan tinggi yang kian tahun makin mahal biayanya. Tak heran, biaya kuliah menjadi bagian dari fokus utama gerakan mahasiswa di internal kampus-kampus universitas negeri.

Relasi mahasiswa dengan lingkungannya juga semakin berubah, di mana kelompok diskusi bukan lagi terfokus mengenai persoalan kemiskinan, ketidakadilan, atau demokrasi, melainkan pada gerakan-gerakan dakwah atau keagamaan di dalam kampus. Di satu sisi, sebagian besar mahasiswa semakin sadar tentang hubungan antara aktivitas keilmuan dan keagamaan. Namun, di sisi lain mereka kurang menyelami realitas social ekonomi di luar kampus. Kesan ini muncul jika kita menginjakkan kaki di kampus-kampus universitas negeri.

Semangat mahasiswa untuk tetap bergerak sebagai kekuatan moral, mudah-mudahan tidak memudar walau zaman telah berganti. Namun asumsi lama nampaknya tetap berlaku, saat kondisi social, politik, dan ekonomi negara mengalami kemerosotan yang amat tajam, ketika persoalan keadilan di dalam masyarakat menjadi bagian dari kenyataan hidup sehari-hari, ketika parlemen tak lagi dapat mengontrol eksekutif, ketika itu pula para aktivis mahasiswa, atas nama amanat penderitaan rakyat, akan bergerak kembali turun ke jalan.

Mahasiswa akan tetap menjadi kekuatan moral yang diandalkan, meski mereka adalah kekuatan anonim yang tidak memiliki struktur organisasi yang baku. Sebagai calon pemimpin bangsa masa depan, sesuai dengan slogan “Student Now, Leader Tomorrow,” mahasiswa harus tetap menyuarakan perbaikan nasib rakyat.