Belum ada
kreativitas dalam pengelolaan sampah di Unhas. Masih setia dengan sistem
sanitary landfill, penimbunan sampah.
Umar
(17 tahun) nampak sigap pagi itu, Jumat (30/3). Bermodalkan sapu lidi dan sekop
sampah, ia mengadu nasib. Sampah berupa dedaunan dan plastik tak luput darinya.
Setelah menumpuknya, kedua jenis sampah ini dipindahkan ke motor yang kini
telah dimodifikasi jadi bak sampah.
Profesinya
sebagai pengangkut sampah di area Unhas menuntutnya bekerja dari pukul
08.00-13.00 WITA. Rektorat hingga Gedung Baruga AP Pettarani jadi tanggung
jawabnya tuk tetap terlihat bersih dari sampah dedaunan dan plastik. Pagi itu,
sekira pukul 09.15 WITA, ia masih berkutat dengan sampah di area parkiran
Gedung Rektorat. Ia bersama rekannya, pemotong rumput dan penyapu jalan, bekerja
di bawah pengawasan langsung seorang kontraktor.
Sampah
yang telah terkumpul kemudian dibawa ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di
wilayah Kera-Kera, sebuah pemukiman kecil di pinggiran wilayah Unhas. Ada empat
motor sampah yang beroperasi di Unhas. Satu motor sampah digunakan tuk
mengangkut sampah di fakultas-fakultas. Tiga lainnya beroperasi di jalan. Empat
kendaraan ini milik Dinas Kebersihan Kota Makassar.
Saat
ini, pengelolaan sampah di Unhas masih menggunakan sistem yang tergolong
konvensional. Semua jenis sampah ditimbun jadi satu di TPS, lalu diangkut ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di wilayah Antang. Pemisahan sampah organik dan
non-organik yang dulunya diterapkan, kini tak ada lagi.
Drs
Bachtiar Syarif RS, Kepala Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga mengungkapkan ketidaktahuannya
tentang pengelolaan sampah yang kini tak lagi diterapkan. Menurutnya, sistem
itu dirancang dan dilakukan oleh sebuah tim yang kini ia sendiri tak tahu di
mana keberadaannya. “Metode pengolahan itu bagus, tapi saya juga tidak tahu
kenapa saat ini tak diterapkan lagi,” ungkapnya.
Sangat
disayangkan memang, lingkungan akademis yang sarat akan penemuan-penemuan dan
teknologi canggih, justru tak memperhatikan masalah lingkungan. Tak ada bedanya
dengan lingkungan luar kampus.
Kita
belum bicara soal teknologi Intermediate
Treatment Fasility (ITF) atau Mechanical
Biological Treatment sebagai teknologi modern pengelolaan sampah. Tentu
penggunaan teknologi ini akan dipikirkan beribu kali karena memakan biaya yang
tak sedikit. Kita juga tak memerlukan teknologi yang mahal namun berakhir pada
nasib ‘tragis’. Sementara, untuk pemisahan jenis sampah dengan adanya pembedaan
tempat sampah saja, kini tak dapat dilanggengkan aplikasinya.
Sebenarnya,
bukan hal yang sulit bagi Unhas tuk mengolah sampah agar bernilai ekonomis.
Dengan adanya berbagai program kreativitas mahasiswa yang mendapat pembiayaan,
baik dari birokrasi Unhas maupun langsung dari pusat, mahasiswa bisa diarahkan
tuk mengelolanya. Unhas juga punya banyak dosen yang mengerti tentang teknologi
berbasis lingkungan. Sayang sekali, potensi mereka tak dimanfaatkan tuk
memperindah ‘rumah’ sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar