Rabu, 04 April 2012

Masih Betah dengan yang Konvensional


Belum ada kreativitas dalam pengelolaan sampah di Unhas. Masih setia dengan sistem sanitary landfill, penimbunan sampah.

      Umar (17 tahun) nampak sigap pagi itu, Jumat (30/3). Bermodalkan sapu lidi dan sekop sampah, ia mengadu nasib. Sampah berupa dedaunan dan plastik tak luput darinya. Setelah menumpuknya, kedua jenis sampah ini dipindahkan ke motor yang kini telah dimodifikasi jadi bak sampah.
      Profesinya sebagai pengangkut sampah di area Unhas menuntutnya bekerja dari pukul 08.00-13.00 WITA. Rektorat hingga Gedung Baruga AP Pettarani jadi tanggung jawabnya tuk tetap terlihat bersih dari sampah dedaunan dan plastik. Pagi itu, sekira pukul 09.15 WITA, ia masih berkutat dengan sampah di area parkiran Gedung Rektorat. Ia bersama rekannya, pemotong rumput dan penyapu jalan, bekerja di bawah pengawasan langsung seorang kontraktor.
      Sampah yang telah terkumpul kemudian dibawa ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di wilayah Kera-Kera, sebuah pemukiman kecil di pinggiran wilayah Unhas. Ada empat motor sampah yang beroperasi di Unhas. Satu motor sampah digunakan tuk mengangkut sampah di fakultas-fakultas. Tiga lainnya beroperasi di jalan. Empat kendaraan ini milik Dinas Kebersihan Kota Makassar.
      Saat ini, pengelolaan sampah di Unhas masih menggunakan sistem yang tergolong konvensional. Semua jenis sampah ditimbun jadi satu di TPS, lalu diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di wilayah Antang. Pemisahan sampah organik dan non-organik yang dulunya diterapkan, kini tak ada lagi.
      Drs Bachtiar Syarif RS, Kepala Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga mengungkapkan ketidaktahuannya tentang pengelolaan sampah yang kini tak lagi diterapkan. Menurutnya, sistem itu dirancang dan dilakukan oleh sebuah tim yang kini ia sendiri tak tahu di mana keberadaannya. “Metode pengolahan itu bagus, tapi saya juga tidak tahu kenapa saat ini tak diterapkan lagi,” ungkapnya.
      Sangat disayangkan memang, lingkungan akademis yang sarat akan penemuan-penemuan dan teknologi canggih, justru tak memperhatikan masalah lingkungan. Tak ada bedanya dengan lingkungan luar kampus.
      Kita belum bicara soal teknologi Intermediate Treatment Fasility (ITF) atau Mechanical Biological Treatment sebagai teknologi modern pengelolaan sampah. Tentu penggunaan teknologi ini akan dipikirkan beribu kali karena memakan biaya yang tak sedikit. Kita juga tak memerlukan teknologi yang mahal namun berakhir pada nasib ‘tragis’. Sementara, untuk pemisahan jenis sampah dengan adanya pembedaan tempat sampah saja, kini tak dapat dilanggengkan aplikasinya.
      Sebenarnya, bukan hal yang sulit bagi Unhas tuk mengolah sampah agar bernilai ekonomis. Dengan adanya berbagai program kreativitas mahasiswa yang mendapat pembiayaan, baik dari birokrasi Unhas maupun langsung dari pusat, mahasiswa bisa diarahkan tuk mengelolanya. Unhas juga punya banyak dosen yang mengerti tentang teknologi berbasis lingkungan. Sayang sekali, potensi mereka tak dimanfaatkan tuk memperindah ‘rumah’ sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar