Entah
mengapa, kata ACO tiba-tiba terlintas begitu saja di memoriku senja ini.
Lintasan yang kuat tentang kenangan hampir empat tahun silam, saat saya masih
diwajibkan memakai rok hitam dan jilbab segitiga polos ke kampus. Kenangan
tentang tiga huruf ini, membuatku buru-buru membuka laptop dan menarikan jemari
di tuts-nya usai sholat, senja ini. Yah, beginilah mungkin, saat ada “klik”
yang mendorong kita ingin menulis. Kembali mengeja kenang, merangkainya dalam
deret huruf, untuk kemudian merasa terpuaskan karena telah mengikat makna yang
sebelumnya hanya tersimpan rapi di salah satu sudut otak.
ACO.
Ah, tiga huruf yang simple tapi
selalu saja berhasil mengukir senyum. Berawal saat saya baru saja menginjakkan
kaki dan resmi sebagai Mahasiswi Farmasi Universitas Hasanuddin. Jangan
bayangkan jadi maba, yang ada enak-enaknya saja. Huft… Sepertinya banyakan susahnya kali ya… Nah, di awal jadi
mahasiswa itulah saya dapat banyak pengalaman dan pengajaran dari senior. Salah
satunya yang paling berkesan dan bisa kutarik benang merahnya hingga saat ini,
ya kata ACO.
Ceritanya, waktu itu, maba
diwajibkan mengisi buku pengumpulan dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya tanda
tangan senior. Masalahnya, minta tanda tangan itu, gak sekadar minta, trus langsung dikasi. Syaratnya panjang… Harus
hapal ini, harus cari itu, harus ini, harus itu, harus ini lagi, harus itu
lagi, dan harus harus yang lain…^^v
Nah, saat meminta tanda tangan
seorang senior yang waktu itu juga menjabat sebagai pengurus inti Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM), Tahu kan BEM? Orang-orangnya
disegani plus ditakuti sama maba… hi hi hi… Saya gak langsung dikasi tanda tangan. Syaratnya, harus cari apa itu
ACO! “Besok, ketemu saya lagi, dan sudah harus tahu apa itu ACO,” katanya
santai.
Jadilah, saya pusing tujuh keliling
karena tiga huruf itu. Sepulang kuliah, waktu itu sekitar pukul 17.00 WITA,
saya bersama seorang teman, berjalan sepanjang Pintu 1 Unhas hingga PK 7.
Jaraknya, emm… sekitar 1 kilometer.
Dekat sih, tapi, dalam kondisi puasa dan menjalani hari yang berat karena
pengumpulan dan tugas, plus malamnya
tidur cuma seiprit, ini bisa jadi hal paling menyebalkan. Untuk apa? Untuk kata
ACO! Kata seorang senior, “adaji itu di pinggir-pinggir jalan bisa dilihat apa
itu ACO.”
Magrib menjelang, waktu buka puasa
tiba, dan saya masih berada di pinggir jalan mencari apa itu ACO. Saya
sempatkan meneguk Teh Kotak, sambil terus meraba, apa maksud perkataan senior
itu. Di Pinggir jalan? Mana?
Tiba-tiba teman yang bersama saya
membuyarkan lamunan. Sambil menunjuk sebuah reklame yang memajang foto Walikota
Makassar sedang tersenyum manis. Di atasnya tertulis, “ACO mengucapkan, Selamat
menjalankan ibadah puasa”. Wow…. Saya girang bukan main. Ternyata, ACO itu nama
akrabnya si bapak walikota. Baru tahu saya… ^^
Esoknya, karena merasa sudah
memenuhi tugas yang diberikan, saya menghadap senior itu kembali dengan wajah
riang. Saat ditanya tentang tugas, saya dengan cepat menjawab, “ACO itu nama
akrabnya Bapak Walikota Makassar,” (sambil unjuk gigi, hehehe). Sontak,
beberapa senior yang ada di situ tiba-tiba tertawa sekeras-kerasnya. Saya
bingung, muka saya memerah, suasana hati berubah tak menentu, bertanya, malu,
dan ingin tahu, kenapa…
Setelah puas dengan tawanya
masing-masing dan suasana sudah agak tenang, si senior menjelaskan, “benar, ACO
itu panggilan akrabnya pak walikota, tapi bukan itu yang saya maksud. Ngapain juga saya kasi tugas tidak
berbobot seperti itu… Saya kasi tau ya, ACO itu singkatan dari Akademik Cinta
dan Organisasi…,” terangnya sambil terus menahan tawa.
“Ooooooooouuuuwwwwww…..” ucapku
menimpali sambil memilin ujung jilbab.
Si senior melanjutkan penjelasannya.
Dalam menjalani aktivitas sebagai mahasiswa, jangan hanya terpatok pada satu
hal saja. Jangan hanya pada akademik, jangan hanya organisasi, dan juga jangan
hanya cinta. Jangan juga mengambil dua hal dan meninggalkan salah satunya.
Akademik, cinta, dan organisasi…
Yah, tiga kata ini selalu melekat di
memori dan sudut hati. Sembari kembali mengurai kenang, perjalanan selama
hampir empat tahun berstatus mahasiswa. Sangat banyak hal tak terduga yang
mewarnainya. Tentang persaingan akademik, Tentang romantika cinta sesame mahasiswa,
dan dinamika organisasi. Rasanya, manis asam asin… hehehe…
Pertama, akademik. Siapa yang tak
ingin punya IPK tinggi, nilai A berderet di Kartu Hasil Studi, sehingga bisa
unjuk gigi saat bertemu dengan PA… Ya, karena prestasi akademik, kita rela
mengurangi jatah tidur menjadi 3-4 jam sehari, bahkan pernah saat ujian
praktikum, tidur hanya sejam. Karena keinginan meraih prestasi akademik, kita rela
memelototi buku-buku tebal, menghapal nama-nama obat, merek dagang, struktur
kimia, nama perusahaan obat… Karena nilai A, kita rela membiarkan jemari menari
bersama pena semalam suntuk, hingga lupa mendirikan sholat lail dan lebih asyik
mengejar penyelesaian laporan yang bertubi-tubi. Merekam kembali semua itu,
rasanya tak dapat menahan senyum dan rasa haru. Bahwa ternyata, kita pernah
begitu kuatnya, begitu tangguhnya. Saat capek, saat mengeluh seusai sholat
dhuhur di musholla, kita saling menguatkan. Saya rindu kalian… Saya rindu
melihat tidur pulas karena kecapekannya kalian saat kita istirahat sholat…
Sekarang, waktu melaju begitu
kencangnya. Meninggalkan masa, dan membuktikan bahwa perubahan itu mutlak.
Sekarang, kita telah dengan sibuknya, dipisahkan oleh waktu dan keadaan, hingga
untuk saling bertemu muka di kampus pun sangat sulit. Yah! Kita memang tak
dapat menerka, perubahan seperti apa yang tertakdir untuk kita. Namun, semoga
kenang itu, masih utuh di sudut hati masing-masing kita.
Kedua, Cinta. Wooow, kata ini
rasanya cukup menyengat. Rasa-rasanya, saya tak perlu panjang lebar di bagian
ini. Sebab masing-masing kita punya cerita. Masing-masing kita mengalaminya.
Namun semoga, ia hanya tertambat dan hanya terungkap pada yang berhak saja…^^
Ketiga, Organisasi. Selain akademik,
unsur ini jadi hal cukup penting dalam upaya pengembangan skill. Akan pincang,
jika kita hanya fokus di akademik, tanpa ingin terlibat dalam organisasi. Di
wadah inilah kita coba membangun relasi social, agar nantinya kita tak hanya
jadi robot pesuruh yang dimanfaatkan ilmunya, tapi bisa menjadi pembawa
perubahan, bisa menjadi control social. Agar nantinya, universitas ini tidak
melahirkan lulusan-lulusan yang serakah, egois, dan tidak memiliki kepekaan social.
Namun sangat diharapkan bisa menjadi pemimpin-pemimpin yang professional. Bisa
jadi pohon yang berbuah manis, di manapun ia ditanam.
Di kampus kita, banyak sekali
organisasi yang menunggu bakat-bakat kita. Tinggal memilih. Saya, misalnya,
tiba-tiba terpaut di jurnalistik, meski sebelumnya tak pernah terlintas akan ke
bidang ini. Dengan organisasi, kita bisa menjadi mahasiswa plus plus… percaya
deh…^^
Dalam ruang bercat hijau muda,
Di tengah kegalauan menyelesaikan skripsi
Dan di tengah ketidakpastian akan kondisi kesehatan
Maros, 15 Juli 2012